Cerita Dodi Ambardi: Humor dan Teror dalam Hidup Arief Budiman
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Syailendra Persada
Jumat, 24 April 2020 15:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Kuskrido Ambardi mengenang Arief Budiman sebagai sosok yang kerap berhumor kendati hidupnya juga dibayangi teror. Sederet kenangan lekat dalam ingatan Dodi, sapaan Kuskrido, tentang sosok mertuanya ini.
Arief meninggal pada Kamis, 23 April 2020 di usianya yang ke 79 tahun. Sosiolog kelahiran 3 Januari 1974 ini meninggalkan istrinya, Leila Chairani dan dua anaknya, Adrian dan Santi, serta empat cucu.
"Perjalanan itu akhirnya sampai pada batas. Dua belas tahun terakhir Arief Budiman terdera Parkinson, yang perlahan menurunkan kemampuan fisiknya," kata Dodi lewat laman Facebooknya, Jumat, 24 April 2020. Dodi memperbolehkan Tempo mengutip tulisannya.
Dodi mendapatkan cerita tentang Arief dari berbagai sumber. Salah satunya dari teman-teman Arief di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Ciputat. Pada 1990-an, kata Dodi, mereka mengundang Arief menjadi salah satu pembicara seminar.
Untuk menghormatinya, mereka menyediakan jemputan mobil bagi Arief yang berangkat dari Salatiga dan berhenti di Terminal Pulogadung. Di tengah jalan, mobil tua yang ditumpangi itu mogok. Alhasil, para penjemput, kecuali sopir turun beramai-ramai untuk mendorong mobil itu.
"Saat itulah mereka terkejut, Arief Budiman bersebelahan dengan mereka ikut mendorong mobil mogok itu. Arief Budiman kok mendorong mobil, teriak teman itu sambil terbahak," tulis Dodi.
<!--more-->
Ada pula cerita dari istri Arief, Leila, tentang sepenggal kisah mereka sebelum pernikahan. Saat opname di rumah sakit, Leila membawakan Arief sepaket makanan dengan lauk ikan goreng. Ketika kembali ke ruang opname, Leila merasa senang karena masakan sudah habis.
Namun ia bertanya-tanya mengapa tak ada sisa duri ikan. Leila sempat sedikit jengkel saat mendengar jawaban Arief. "Kasihan ikan itu, tadi saya kubur di belakang," kata Dodi menirukan kisah Leila.
Humor lain yang diceritakan Dodi ialah pengalamannya pada akhir 1980-an. Dodi dan teman-temannya, mahasiswa Fisipol UGM ketika itu, mengundang Arief dalam diskusi buku yang diterjemahkan dari disertasinya, Jalan Demokratis Menuju Sosialisme: Pengalaman Chile di Bawah Allende.
Moderator Yahya Qolil Staquf duduk di tengah, Arief di sisi kirinya, sedangkan Mohtar Mas'oed di sisi kanan. Yahya mengatakan posisi duduk itu bukan tanpa alasan. "Kita semua tahu, Pak Arief itu selalu di kiri," kata Yahya, disambut tawa sekitar 150 peserta diskusi.
Seraya tersenyum, Arief merespons ledekan kiri itu. "Moderator ini tampaknya keliru membaca. Dari sudut tempat duduk anda semua yang berada di depan saya, saya masih terlihat sangat kanan," kenang Dodi.
<!--more-->
Dodi juga terkenang sikap rileks Arief ketika Gus Dur tiba-tiba datang ke pernikahan ia dan Santi. Sebelumnya, Arief mengatakan tak ingin mengundang agar tidak menyusahkan Gus Dur yang sibuk. Tak dinyana, Gus Dur yang tengah melintasi Salatiga memutuskan untuk mampir.
"Sama rileksnya, keduanya tersenyum dan saling berpelukan di halaman rumah Salatiga dan Gus Dur segera disalami sahabat-sahabat lainnya yang melingkar di teras rumah itu," kata Dodi.
Namun, Dodi mengimbuhkan, cerita humor itu sama banyaknya dengan cerita teror yang dialami Arief dan keluarganya. Bukan cuma pernah ditahan tanpa pengadilan pada 1971 karena menolak proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), teror terus dialami Arief hingga dekade kemudian.
Di awal 1990-an, ia memberikan komentar di sebuah koran atas karir melesat seorang jenderal yang menurutnya tak cocok dengan prestasi yang biasa-biasa saja. Besoknya, rumah Arief disatroni intel. Keluarga menemukan bangkai angsa piaraan dan benda-benda asing lainnya di halaman rumah selama sepekan.
Dalam memoarnya yang dimuat Majalah Tempo edisi 23 Juli 2012, Arief menceritakan kesulitannya pada mendapat pekerjaan di dalam negeri kendati bergelar doktor bidang sosiologi dari Universitas Harvard, Amerika Serikat pada 1980. Lamarannya menjadi dosen di sejumlah universitas negeri ditolak.
Cap sebagai oposan dan tukang protes masih melekat di dirinya. "Padahal saya sangat berharap bisa mengajar di dua kampus tersebut," kata Arief dalam memoar tersebut.
Kabar baik datang ketika Aristider Katoppo kemudian menawari Arief mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga. Pada 1994, Arief dipecat oleh Yayasan Satya Wacana. Pemecatan itu buntut dari protesnya kepada rektor dan pengunduran dirinya.
Arief mengirim surat kepada rektor tentang praktik penerimaan mahasiswa dengan sistem koneksi, dosen yang lalai mengajar, serta keterlibatan universitas dalam beberapa proyek negara. Isi surat juga menyangkut moralitas pejabat kampus yang terlibat dalam tender pengadaan barang yang menguntungkan diri sendiri. Surat itu, kata Arief, sebagai bentuk loyalitasnya kepada UKSW.
"Sekarang, saya hanya bisa mengenang keseharian Arief Budiman yang memiliki banyak sisi: kerap berhumor, menyenangi kesetaraan, menghidupi intelektualisme dan aktivisme, dan gemar melakukan pembangkangan," ujar Dodi.