ICW Beber 7 Kontroversi di 100 Hari KPK Dipimpin Firli Bahuri
Reporter
Dewi Nurita
Editor
Amirullah
Selasa, 24 Maret 2020 10:19 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Tepat pada pekan ini, genap 100 hari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dipimpin oleh Firli Bahuri dkk. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), KPK periode ini minim prestasi dan lebih banyak kontroversi sehingga kepercayaan publik terhadap KPK turun drastis.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilik riset Indo Barometer dan Alvara Institute pada awal 2020 menggambarkan hal itu. Menurut survei Alvara pada Februari lalu, kepercayaan publik terhadap KPK turun dari peringkat dua menjadi peringkat lima dengan tingkat kepuasan 71,1 persen.
Sementara menurut Indo Barometer, kepercayaan publik terhadap KPK turun satu peringkat ke posisi empat dengan tingkat kepuasan publik 81,8 persen. Saat KPK masih dipimpin oleh Agus Rahardjo dkk, lembaga antirasuah selalu berada di tiga besar lembaga dengan tingkat kepercayaan publik tertinggi.
"Dua riset itu mengkonfirmasi pesimisme masyarakat luas atas proses seleksi pimpinan KPK yang dianggap tidak kredibel, ceroboh dan tidak mengindahkan berbagai rekam jejak yang ada," ujar Kurnia lewat keterangan tertulis pada Selasa, 24 Maret 2020.
Selama 100 hari Firli menjabat sebagai Pimpinan KPK, kata Kurnia, ICW setidaknya mencatat tujuh kontroversi publik yang timbul. Pertama, gagal menangkap buronan. Sebagaimana diketahui bahwa dua buronan KPK saaat ini tak kunjung bisa ditangkap, yakni Harun Masiku dan Nurhadi.
"Padahal rekam jejak lembaga anti rasuah selama ini dikenal cepat dalam menemukan pelaku korupsi yang melarikan diri," kata Kurnia.
Kedua, Komisioner KPK dinilai tidak memberikan informasi yang transparan terkait penanganan perkara kepada publik. Hal ini, kata Kurnia, bisa dilihat pada kejadian dugaan penyekapan penyidik KPK di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) saat mengejar Harun Masiku sebelum menjadi buron.
"Sampai saat ini tidak ada satupun Komisioner KPK yang memberikan informasi yang utuh dan jujur tentang kejadian tersebut. Bahkan saat rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR RI, Ketua KPK menolak memberikan jawaban ketika ditanya tentang kejadian di PTIK," ujar Kurnia.
<!--more-->
Ketiga, Komisioner KPK terlihat bertindak sewenang-wenang terhadap pegawainya sendiri. Bukti konkret atas tindakan ini, kata Kurnia, dapat dilihat ketika Penyidik KPK, Kompol Rossa, diberhentikan tanpa melalui mekanisme yang jelas. Padahal yang bersangkutan sedang menangani perkara dugaan suap yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan mantan calon anggota legislatif PDIP Harun Masiku.
Keempat, lanjut Kurnia, Komisioner KPK berniat memotong kompas proses hukum atas Harun Masiku untuk menutupi kelemahan mereka dalam mencari tersangka tersebut. Alih-alih serius mencari yang bersangkutan, Pimpinan KPK malah mendorong persidangan secara in absentia terhadap Harun Masiku.
Kelima, lanjut Kurnia, jumlah penindakan yang dilakukan oleh KPK menurun drastis. Data KPK menyebutkan sejak tahun 2016-2019 lembaga anti rasuah itu telah melakukan tangkap tangan sebanyak 87 kali dengan total tersangka 327 orang. Namun pada kepemimpinan Firli Bahuri, KPK baru melakukan dua kali tangkap tangan, yakni melibatkan Komisioner KPU RI dan Bupati Sidoarjo. Akan tetapi dua perkara itu bukan murni dimulai oleh lima Komisioner KPK baru, namun sprindiknya sudah ada sejak era Agus Rahardjo cs.
Keenam, Komisioner KPK dinilai terlalu sering melakukan pertemuan yang berpotensi mengikis nilai-nilai independesi dan etika pejabat KPK. Terhitung sejak Januari hingga Februari 2020, Komisioner KPK telah mendatangi 17 instansi negara. Tiga diantaranya kunjungan ke DPR RI.
"Dalih sosialisasi pencegahan tidak dapat diterima dengan akal sehat karena strategi pencegahan sudah jelas alur, pendekatan dan kebijakan-kebijakan teknisnya," ujar Kurnia.
Ketujuh, Komisioner KPK mengumumkan kepada publik terkait penghentian 36 perkara di tingkat penyelidikan. "Tentu publikasi semacam ini tidak lazim dan belum pernah terjadi di KPK. Sebab, keseluruhan perkara tersebut masih dimungkinkan dilanjutkan ke tingkat penyidikan jika di kemudian hari ditemukan bukti tambahan," ujar Kurnia.
Kurnia menyebut, kepemimpinan Firli Bahuri ditambah dengan pemberlakuan UU KPK baru akan semakin membuat KPK tidak lagi independen, sampai pada kekhawatiran perkara besar akan dihentikan melalui instrumen surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan.
"Pada akhirnya akar persoalan pemberantasan korupsi saat ini ada pada komitmen Presiden Joko Widodo dan segenap anggota DPR RI. Sebab bagaimanapun persoalan stagnasi KPK dalam upaya pemberantasan korupsi adalah produk politik eksekutif dan legislatif," ujar Kurnia.