Pelaporan Penghina Risma, SafeNET: UU ITE dan Pejabat Berhubungan
Reporter
Friski Riana
Editor
Ninis Chairunnisa
Kamis, 6 Februari 2020 05:08 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Regional SafeNET Damar Juniarto menilai pelaporan terhadap penghina Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menunjukkan bahwa UU ITE dan pejabat tidak bisa dipisahkan. Penghina Risma, Zikria Dzatil kini meringkuk di tahanan.
“Dua kasus di tahun 2020 jelas-jelas menunjukkan bagaimana #UUITRdanpejabat itu seperti tidak bisa dipisahkan. Tentu masih ingat ya angkanya kemarin, pelaporan pejabat paling dominan dalam UU ITE,” kata Damar dalam cuitannya di Twitter, Rabu, 5 Februari 2020. Tempo sudah mendapat izin untuk mengutip cuitan tersebut.
Damar menyebutkan pelaporan pejabat terkait UU ITE yang terjadi pertama kali di tahun ini dialami Zikria Dzatil. Warga Katulampa, Bogor itu dilaporkan Kepala Bahian Hukum Pemkot Surabaya Ira Tursilowati atas perintah Risma ke kepolisian.
Laporan polisi dibuat pada 21 Januari 2020. Atas dasar laporan polisi yang dibuat Pemkot Surabaya, polisi menangkap Zikria pada 26 Januari, lalu dibawa ke Surabaya untuk diperiksa dan ditahan atas dugaan penghinaan dan ujaran kebencian.
Postingan Zikria Dzatil di Facebook pada 16 Januari 2020 yang menyebabkan ia dilaporkan polisi berbunyi, "Anjirrrrr.... Asli ngakak abis...nemu nih foto sang legendaris kodok betina" disematkan pada foto Risma sedang bersimpuh.
Kasus kedua dialami Melianus Duwitau, mahasiswa di Kabupaten Nabire. Damar menuturkan, Melianus ditangkap pada 30 Januari 2020 oleh tim Patroli Siber Subdit V Ditreskrimsus Polda Papua sesuai dengan laporan polisi nomor LP/28/I/RES.2.5/2020/SPKT/Polda Papua pada 16 Januari 2020. “Pelapor pada kasus ini Kapolda Papua Irjen Pol Drs. Paulus Waterpauw,” kata Damar.
Melianus dilaporkan karena akun media sosialnya memposting tulisan pada foto Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw yang berbunyi “Kapolda Papua Waterpauw, Segera Bertanggung Jawab atas Penyebaran hoax Tentang Papua Intan Jaya”. Ia dianggap melanggar Pasal 45A Ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 UU ITE dengan ancaman pidana kurang lebih 6 tahun.
Berdasarkan dua kasus terbaru pada tahun ini, Damar melihat ada pola yang sama, yaitu seorang pejabat publik merespons balik warga yang dianggap menghina dengan pasal karet UU ITE. Kemudian ada campur aduk antara defamasi dan ujaran kebencian, dan kepolisian yang melakukan penangkapan.
Damar menjelaskan acuan penanganan kasus defamasi dan ujaran benci. Defamasi harus tertuju langsung, harus diadukan langsung dari yang merasa dicemarkan namanya, tidak untuk institusi, harus pribadi, dan media harus dilakukan sebelumnya.
Sedangkan ujaran kebencian harus memuat unsur ajakan, hasutan, melakukan kebencian. Selain itu harus berbasis diskriminasi ras, agama, gender, pilihan politik, disabilitas. Dalam SE Kapolri 2015, kata Damar, wajib mediasi dulu dan tidak langsung tangkap. “Komnas HAM pernah keluarkan acuan ini juga," kata dia.
Menurut Damar, tidak semua harus diselesaikan dengan UU ITE. Ia juga mengingatkan kepada pejabat publik agar jangan tipis telinga. “Itu jabatan publik, bukan pribadi,” ujarnya.