Lutfi, Ananda Badudu, dan Kisah Lain Dugaan Penyiksaan Oleh Polisi
Reporter
Tempo.co
Editor
Syailendra Persada
Jumat, 24 Januari 2020 08:02 WIB
Tempo.co, Jakarta - Di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Lutfi Alfiandi, demonstran yang fotonya viral karena membawa bendera merah putih, bercerita soal penyiksaan yang ia alami selama menjalani pemeriksaan di kantor Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat.
“Saya disetrum, telinga dijepit, diminta untuk mengaku bahwa saya yang melempar batu ke petugas, padahal saya tidak melempar,” kata Lutfi menceritakan ulang kejadian awal Oktober 2019 itu, pada Senin, 20 Januari 2020. Di tengah siksaan ini, Lutfi mengatakan ia akhirnya menuruti keinginan polisi.
Lutfi merupakan salah satu demonstran yang ditangkap dalam rangkaian unjuk rasa pada akhir Oktober 2019. Saat itu, mahasiswa dan pelajar menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPR menolak pengesahan sejumlah rancangan undang-undang yang kontroversional. Seperti revisi Undang-undang KUHP dan perubahan Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam sidang dakwaan, Lutfi disebut melawan aparat, merusak fasilitas umum, dan menyerang aparat yang sedang berjaga saat unjuk rasa berlangsung.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan polisi sudah berusaha profesional menangani perkara ini. Ia pun meminta Lutfi melaporkan dugaan penyiksaan ini ke Bidang Propam jika merasa tidak terima.
Selain itu, Yusri menyarankan kepada semua pihak untuk menunggu hasil persidangan. "Cuitan dia dalam sidang. Ini kan sidang sedang berlangsung. Tunggu saja nanti bagaimana hasil sidangnya," ujar Yusri, Rabu, 22 Januari 2020.
Setelah cerita Lutfi viral, Musisi Ananda Badudu pun angkat bicara. Ia mengatakan sempat disiksa oleh polisi saat diperiksa. Polisi menangkan Badudu pada Jumat, 27 September 2019. Ia ditangkap oleh penyidik Polda Metro Jaya karena menggalang dana untuk aksi mahasiswa lewat kanal kitabisa.com.
Ananda mengatakan dirinya juga mengalami kekerasan fisik yang sama dari polisi, seperti yang dialami oleh Lutfi. "Pas saya dibawa ke Polda dulu, saya pun dipukul, dipiting, dijambak, ditendang, dan dikeplak berkali-kali," cuit Ananda di Twitter miliknya @anandabadudu, Selasa, 21 Januari 2020. Badudu mengizinkan Tempo mengutip cuitan ini.
Ananda bercerita saat itu tak bisa mengatakan apa-apa soal penganiayaan yang diterimanya. Sebab, dia diancam dengan pidana baru dan akan disomasi.
Cerita Lutfi dan Badudu ini hanya sebagian kecil dari cerita dugaan penyiksaan oleh polisi selama proses penyidikan. Pada September 2019, Tempo.co dan Komisi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pernah merilis temuan soal dugaan penyiksaan oleh polisi dalam liputan bertajuk “Kisah di Balik Terali Besi”. Berdasarkan data yang dihimpun, sejak 2011 sampai 2019. Hasilnya, total ada 445 kasus dugaan penyiksaan tahanan oleh polisi dengan 693 korban.
Staf Divisi Pembelaan Hak Asasi Manusia KontraS, Falis Agratiatma, mengatakan angka tersebut bisa saja bertambah. “Sebab ada keluarga korban yang tidak mau melapor atau tak tahu bagaimana melapor,” kata Falis ketika ditemui di kantor KontraS pada Kamis, 22 Agustus 2019.
Bahkan, kata Falis, dalam beberapa kasus ada keluarga korban yang tak berani melapor karena diintimidasi atau dipaksa agar menandatangani surat damai. “Makanya data yang kami miliki sekarang hanya permukaan gunung es,” kata Falis.
Salah satu cerita dugaan penyiksaan ini dialami oleh Yusman Telaumbauna, pemuda asal Nias, Sumatera Utara ini nyaris menghadapi regu tembak. Pengadilan Negeri Gunungsitoli menjatuhkan hukuman mati kepada Yusman karena dianggap terlibat pembunuhan berencana atas bosnya. “Padahal saya disiksa oleh polisi untuk mengaku,” kata Yusman menceritakan ulang kejadian yang menimpanya pada 2012.
Tidak hanya disiksa agar mengakui telah membunuh bosnya sendiri, polisi juga menyakiti Yusman agar mengamini bahwa usia lelaki ini 19 tahun. Padahal, Yusman berkali-kali mengatakan kepada polisi bahwa dia masih berumur 16 tahun. Di tengah pukulan dan tendangan polisi, Yusman menyerah. Ia terpaksa mengakui telah membunuh bosnya sekaligus mengiyakan berusia 19 tahun.
Gara-gara pengakuan ini nyawa Yusman terancam. Pengadilan Negeri Gunungsitoli mengirimkan Yusman ke hadapan regu tembak. Beruntung, awal tahun 2017, KontraS berhasil membuktikan Yusman masih di bawah umur ketika ditangkap polisi. Ia pun bebas dari hukuman mati.
Falis menuturkan penyiksaan terhadap tahanan oleh polisi masih menjadi metode favorit untuk mencari barang bukti. Dari kasus-kasus yang diadvokasi oleh KontraS, kata Falis, kebanyakan korban memang diduga terlibat tindak kriminal. Sehingga polisi menyiksa mereka untuk mendapatkan barang bukti. Selain itu, ada juga motif penyiksaan agar pelaku mau mengakui perbuatannya.
Penyiksaan, kata Falis, pun tak melulu dalam bentuk fisik. Teror psikologis juga sudah masuk kategori penyiksaan. Misalnya, menakut-nakuti tahanan dengan ular atau tak memberi makanan selama berhari-hari.
Falis mengatakan angka penyiksaan juga makin tinggi karena masih banyak masyarakat yang permisif terhadap perbuatan ini. “Ada masyarakat yang menggap pelaku kriminal layak disiksa,” kata Falis. “Ambil contoh misalkan ada pelaku pemerkosaan ditangkap, di media sosial pasti banyak yang komentar meminta agar pelaku disiksa.”
Falis mengatakan, selain soal hak asasi, sistem hukum harus mengedepankan asas praduga tak bersalah. “Semua orang sama di mata hukum, sehingga tak boleh ada penyiksaan,” kata dia.