Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman (tengah) saat mengikuti sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Legislatif 2019 Provinsi Jawa Timur di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa, 9 Juli 2019. Sidang tersebut digelar selama empat hari mulai 9 Juli 2019 hingga 12 Juli 2019 berdasarkan pengelompokan jadwal provinsi yang telah ditentukan. TEMPO/M Taufan Rengganis
TEMPO.CO, Jakarta-Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem prihatin atas penangkapan komisioner Komisi Pemilihan Umum berinisial WS, atau diduga Wahyu Setiawan, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut Perludem, kasus ini kontradiktif dengan semangat antikorupsi yang digadang-gadang lembaga penyelenggara pemilu ini.
KPU pun pernah mencoba membuat terobosan hukum untuk melarang pencalonan mantan napi korupsi di Pemilu 2019. "Ini tentu jadi pukulan berat bagi kelembagaan KPU," kata Direktur Perludem Titi Anggraini lewat keterangan tertulis, Rabu, 8 Januari 2020.
Titi meminta KPU menjadikan momen penangkapan komisioner itu untuk bersih-bersih total secara internal maupun pola hubungan eksternal. KPU, kata dia, mesti kooperatif dengan KPK untuk mengusut kasus tersebut.
Di saat yang sama, kata dia, KPU harus membangun mekansime pengawasan internal yang lebih baik dalam mencegah perilaku koruptif jajarannya. "Apalagi banyak godaan menjelang pilkada," kata dia.
Lebih lanjut Titi mengatakan KPU perlu meminta dukungan KPK dalam membangun strategi pencegahan terjadinya penyimpangan ketika pilkada 2020. Selain itu, KPU juga harus mewanti-wanti jajarannya di daerah untuk tidak coba-coba main mata dan melakukan praktik koruptif.
"Sebab selain akan ada ancaman hukuman yang berat, hal itu juga akan semakin meruntuhkan kredibilitas KPU sebagai institusi demokrasi, anak kandung reformasi, yang dibangun secara susah payah," kata dia.
Sebelumnya KPK menangkap komisioner KPU berinisial WS di Bandara Soekarno Hatta. Penangkapan diduga terkait suap pergantian Anggota DPR.