SKB Penanganan Radikalisme, Pemerintah: Bukan Anti-Kritik
Reporter
Ahmad Faiz Ibnu Sani
Editor
Juli Hantoro
Senin, 25 November 2019 16:40 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Kabinet Pramono Anung menampik jika pemerintah alergi dengan kritik seiring keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 instansi pemerintah tentang penanganan radikalisme pada aparatur sipil negara (ASN).
"Pemerintah sama sekali tidak alergi terhadap kritik, yang kami tidak mau bagaimana kemudian ujaran kebencian menjadi konsumsi sehari-hari. Harus bedakan kritik dengan ujaran kebencian," kata Pramono saat ditemui di ruang kerjanya, Kompleks Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Senin, 25 November 2019.
Dalam SKB tersebut tertuang 11 kriteria pelanggaran yang masyarakat umum bisa adukan lewat portal aduanasn.id. Beberapa di antaranya adalah larangan menyampaikan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian pada Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, pemerintah, dan salah satu suku, agama, atau ras.
SKB ini melarang pula ASN mengadakan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.
Selain itu ASN dilarang memberikan reaksi berupa komentar atau tanggapan lain seperti memberikan likes, dislike, love, retweet, dan sebagainya terhadap ujaran kebencian yang ditujukan pada pemerintah di media sosial. Mereka juga dilarang menggunakan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.
Pendiri Lokataru Foundation, Haris Azhar, menyebut SKB ini sebagai legalisasi untuk menuduh seorang ASN yang kritis sebagai radikal. Menurut dia, SKB ini menganggap kritik kepada pemerintah merupakan perbuatan radikal. "Kritik diputarbalikkan seolah sebagai radikalisme," katanya saat dihubungi Tempo, kemarin.
Haris menduga SKB ini untuk menyasar ASN-ASN yang kritis terhadap kebijakan yang dimanipulasi oleh penguasa. Pasalnya ASN sebagai orang lapangan mengerti tentang kelemahan atau cacat dari kebijakan tersebut. "Kritik mereka kerap muncul dalam berbagai ruang dan kerumunan tertentu. Hal ini yang kemudian akan dilihat (baca: dituduh sebagai radikal) oleh Rezim Jokowi jilid II ini," ujarnya.
Sedangkan dari sisi mekanisme, SKB ini meniadakan otoritas yang ada seperti Ombudsman, inspektorat di kementerian/lembaga, atau Komisi ASN dengan cara membuat portal laporan aduanasn.id dan bisa mengambil tindakan sepihak. Hal ini diperparah dengan tidak adanya bagian ASN terlapor untuk memberikan klarifikasi. "Mekanisme ini rentan fitnah. Ini seperti zaman 1965, tuduhan yang membunuh kapasitas seseorang. Labelling," tuturnya.
SKB ini telah diterbitkan pada 12 November kemarin bersamaan dengan peluncuran portal aduanasn.id. Menteri yang terlibat dalam SKB ini adalah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Agama Fachrul Razi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, dan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate.
Selain itu ada pula Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Suhardi Alius, Kepala Badan Kepegawaian Negara Bima Haria Wibisana, Pelaksana tugas Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Hariyono, dan Ketua Komisi ASN Agus Pramusinto.