Politikus Dinilai Perlu Belajar Cara Berpolitik Ala Tjokroaminoto
Reporter
Pribadi Wicaksono (Kontributor)
Editor
Amirullah
Sabtu, 26 Oktober 2019 21:39 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) Abdul Wahid menilai di tengah maraknya politik transaksional saat ini, tata cara politik secara bermartabat yang dikenalkan pendiri sekaligus ketua pertama organisasi Sarekat Islam, Hadji Oemar Said atau H.O.S Tjokroaminoto masih relevan digaungkan.
Sang empu pergerakan itu, ujar Wahid, melalui pemikiran dan kiprahnya telah melahirkan diktum politik yang dianggap layak dibumikan lagi agar para politikus saat ini sadar perannya.
Tjokroaminoto melalui Trologi Siasat Politik-nya mengenalkan pernyataan berbunyi 'setinggi-tinggi ilmu, semurni- murni tauhid, sepintar-pintar siasat'.
"Pemikiran Tjokroaminoto itu merupakan panduan berpolitik modern yang cerdik, efisien dan bermartabat," ujar Abdul Wahid saat diskusi publik bertajuk Membedah Pemikiran HOS Tjokroaminoto : Islam, Politik dan Negara yang digelar Tempo bekerjasama dengan Universitas Cokroaminoto Yogyakarta di kampus itu, Sabtu, 26 Oktober 2019.
Wahid menuturkan lewat trilogi itu, Tjokroaminoto mengajak para politikus di masa itu berpolitik berbasis keilmuan dan ilmiah. Juga menemukan cara berpolitik yang bermartabat, baik dari pengekspresiannya, serta efektif dalam penemuan metode penyelesaiannya.
Tjokroaminoto lewat triloginya itu, ujar Wahid, mengajak politikus bersikap idealis, berpikir strategis, namun tak meninggalkan nilai-nilai kebajikan sesuai ajaran agama yang dianutnya. "Dan para pendiri bangsa itu juga menuliskan pemikiran pemikirannya, sehingga ada yang diwariskan kepada generasi sekarang," ujar Wahid.
Wahid mengatakan apa yang pernah disampaikan Tjokroaminoto masih relevan dalam situasi apapun kapanpun.
<!--more-->
Melalui cara berpolitik Tjokroaminoto yang matang itulah, kata Wahid, Sarekat Islam berhasil menjadi organisasi yang besar, tempat berhimpun berbagai elemen dan aliran. Sarekat Islam menjadi gerakan massa nasionalis yang menjangkau semua lapisan, berskala nasional dan bertujuan membangun pemerintahan sendiri.
Mengutip almarhum budayawan Kuntowijoyo, ujar Wahid, Tjokroaminoto berhasil membangun kesadaran dan partisipasi politik umat, mengubah mereka dari kerumunan menjadi barisan, mengubah 'wong cilik' menjadi 'warga negara'.
Dalam diskusi yang menghadirkan sejarawan Bonnie Triyana, cicit HOS Tjokroaminoto, N Robbi Sepang, serta dimoderatori Redaktur Tempo Sunudyantoro itu, Wahid juga mengungkap bagaimana Tjokroaminoto memberi sejumlah warisan pemikiran yang masih membuka kajian kritis hingga saat ini.
Warisan pemikiran Tjokroaminoto itu, misalnya, tampak bagaimana Tjokro mempertemukan ajaran Islam dan sosialisme. Sosialisme yang dilihat Tjokroaminoto tidak bersifat sekuler. Berbeda dengan sosialisme yang berkembanhmg di Barat.
Kata Wahid, Tjokro menganggap sosialisme Islam sudah dilaksanakan sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan bersumber pada Alquran dan Hadits. Tjokroaminoto berpandangan sosialisme Islam memiliki tiga unsur, yakni kemerdekaan, persaudaraan, dan persamaan.
Dalam konteks pemerintahan, berbeda dengan Barat yang menggunakan demokrasi parlementer, Tjokroaminoto berpandangan sosialisme Islam menggunakan 'hukum Tuhan' sebagai dasar. Contohnya adalah kekhalifahan Umar bin Khattab yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan.