Disangka Bakar Lahan, Kandas Mimpi Peladang Timun
Reporter
Parliza Hendrawan (Kontributor)
Editor
Purwanto
Selasa, 24 September 2019 08:13 WIB
TEMPO.CO, Palembang—Tuturnya begitu runut dan teratur. Tidak tampak sama sekali gesture yang menunjukkan bila kakek dua cucu ini sedang berusaha untuk menutupi kasus yang menimpanya. Ketika ditemui di halaman depan Markas Polda Sumatera Selatan, Senin sore, 23 September 2019, Apendi, 65 tahun, secara jujur mengakui telah membakar sepetak lahan di dusun 1, desa Sukadamai, kecamatan Pedamaran, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Lahan yang dia bakar sejatinya untuk ditanami mentimun. Harapannya, menjadi sumber pemasukkan bagi anak cucunya di kampung.
“Di tangkap pas lagi nyilap sarap,” kata Apendi. Nyilap sarap atau membakar sampah kebun seperti rumput, gulma, ranting dan dahan pohon masih dianggap hal yang biasa bagi warga kampungnya. Karena Apendi menyakini usahanya tersebut dapat membersihkan lahan dengan cepat dan berbiaya murah. Dengan nyilap petani meyakini tanah menjadi subur sehingga mengurangi biaya pemupukan.
“Tidak ada sama sekali himbauan dari siapapun kalau membakar itu dilarang,” ujarnya. “Kalau ada larangan seperti itu tidak mungkin saya berani melawan.”
Bercocok tanam mentimun bukanlah keahlian satu-satunya Apendi yang tertangkap tangan pada Selasa 3 September yang baru lalu itu. Pada musim penghujan kelak, dia berencana menanam padi. Di sela-sela aktifitas di ladang, Apendi biasanya menghidupi keluarganya dari mencari ikan di sungai maupun di rawa-rawa yang tak jauh dari rumahnya. Dia bersama istrinya juga terbiasa menjadi buruh di perkebunan tebu. “Mak ini hari (sekarang) saya bingung siapa yang akan menghidupi istri di kampung.”
Pada awal September ini dilaporkan sedikitnya 2 ribu hektare area terbakar di Sumatera Selatan. Kepolisian Daerah telah menetapkan 23 orang sebagai tersangka pembakar lahan dan hutan yang dianggap tak bertanggungjawab.
Sementara itu Hairul Sobri, Direktur Walhi Sumsel mengingatkan polisi untuk tidak hanya berani menangkap dan menindak warga biasa yang notabene hanya memiliki lahan sepetak kecil sebagaimana Apendi.
Walhi Sumsel mendorong pencabutan izin harus dilakukan juga kepada korporasi besar yang berada di wilayah gambut. Dalam peraturan, gambut dalam adalah kawasan lindung sehingga tidak boleh diperuntukan untuk perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI).
Selain itu Walhi katanya meminta pemerintah membatalkan izin yang baru dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten dan kota di Sumatera Selatan. Bila perlu, seluruh pemangku kepentingan mengecam dan mengutuk terhadap kepala daerah yang telah terbukti memberikan izin baru terutama di wilayah gambut seperti PT. BHP dan PT. DGS di Ogan Komering Ilir (OKI).
“Saat ini hanya 1 perusahaan yang d tetapkan tersangka. Jangan sampai segel menyegel yang dilakukan KLHK hanya sebatas pencitraan semata,” kata Hairul.
PARLIZA HENDRAWAN