ISA Bukan Jawaban Tumpas Terorisme

Reporter

Editor

Sabtu, 23 Agustus 2003 17:04 WIB


TEMPO Interaktif, YOGYAKARTA: Usulan Menteri Pertahanan Matori Abdul Jalil untuk memberlakukan UU semacam ISA (internal security act) yang ada di Malaysia, mendapat reaksi pedas dari sejumlah kalangan. Satu dari mereka adalah pengamat politik asal Universitas gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Dr Ichlasul Amal. Dia menyatakan tidak sependapat dengan usulan Matori.

Menurut Ichlasul Amal kondisi di Malaysia yang memberlakukan ISA sangat berbeda dengan Indonesia. Jika usulan Matori dimaksudkan untuk mengatasi persoalan terorisme, kata Ichlasul, maka UU semacam ISA bukanlah jawaban bahkan sebaliknya UU semacam ISA akan menjadi alat bagi penguasa untuk menjaga stabilitas kekuasaannya.

"Undang-undang semacam ISA adalah kebijakan yang represif dan kita cukup berpengalaman dengan situasi pada masa Orde Baru yang represif. Pemberlakuan ISA, akan memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menangkap dan menahan seseorang dalam waktu yang lama meski orang itu baru dicurigai," kata Ichlasul Amal kepada wartawan di Yogyakarta, Selasa (12/8).

Dikatakan Ichlasul, Malaysia memang memberlakukan ISA bagi warga negaranya. Persoalannya, kata Ichlasul, situasi politik di Malaysia dan di Indonesia sangat berbeda. Di Malaysia bagian utara, kata dia, masih terdapat kelompok masyarakat komunis yang dinilai bisa menjadi ancaman sehingga pemerintah setempat memandang perlu pemberlakuan UU tersebut.

Ichlasul menilai, jika rencana pemberlakukan UU semacam ISA dikaitkan dengan maraknya terorisme di Indonesia, hal itu merupakan pandangan yang terlalu menyederhanakan masalah. "Pertanyaannya apakah jika UU semacam ISA diberlakukan akan memberi jaminan bahwa terorisme menjadi reda. Saya sendiri, jelas tidak yakin ISA bisa mencegah teror bom," tegas Ichlasul.

Menurut Ichlasul, ada beberapa solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut daripada memberlakukan ISA. Menurut dia, kerja intelijen harus ditingkatkan baik secara kuantitas maupun kualitas. Kedua, membuat kebijakan yang dapat mengantisipasi munculnya kelompok militan.

Advertising
Advertising

"Kasus seperti itu hanya bisa dilakukan jika kelompok pinggiran yang ekstrim diberi akses politik. Jadi, persoalan ini juga merupakan kesalahan para politisi karena mereka tidak bisa menampung aspirasi dari kekuatan marjinal. Jadi maraknya terorisme itu bukan karena kita tidak punya ISA tapi ada persoalan yaitu kelompok atau faksi di masyarakat termasuk kalangan sipil yang tersisihkan itu tidak diakomodir aspirasinya," kata Ichlasul.

Ichlasul menegaskan, persoalan maraknya kasus terorisme tidak dapat dilihat secara hitam putih. Semua pihak, kata dia, harus berintropeksi karena nyatanya terorisme muncul dari kelompok marjinal. Bahan bom pun, katanya, juga bisa dibeli secara bebas bahkan banyak orang yang bisa merakitnya.

heru cn-Tempo News Room

Berita terkait

LPS Sudah Bayar Dana Nasabah BPRS Saka Dana Mulia yang Ditutup OJK Sebesar Rp 18 Miliar

1 menit lalu

LPS Sudah Bayar Dana Nasabah BPRS Saka Dana Mulia yang Ditutup OJK Sebesar Rp 18 Miliar

Kantor BPRS Saka Dana Mulia ditutup untuk umum dan PT BPRS Saka Dana Mulia menghentikan seluruh kegiatan usahanya.

Baca Selengkapnya

Jurus Ampuh Mengatasi Gerah Akibat Hawa Panas

1 menit lalu

Jurus Ampuh Mengatasi Gerah Akibat Hawa Panas

Saat tubuh terpapar suhu ataupun hawa panas, respons alami tubuh adalah dengan memproduksi keringat untuk mendinginkan diri.

Baca Selengkapnya

DPR Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu 2024 pada 15 Mei, KPU Siapkan Ini

6 menit lalu

DPR Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu 2024 pada 15 Mei, KPU Siapkan Ini

Komisi II DPR juga akan mengonfirmasi isu yang menerpa Ketua KPU Hasyim Asy'ari.

Baca Selengkapnya

Kemendikbud: Penerima KIP Kuliah Boleh Bekerja Jadi Reseller Hingga Youtuber

17 menit lalu

Kemendikbud: Penerima KIP Kuliah Boleh Bekerja Jadi Reseller Hingga Youtuber

Sebelumnya viral sejumlah mahasiswa penerima KIP Kuliah di Universitas Diponegoro atau Undip yang diduga melakukan penyalahgunaan bantuan.

Baca Selengkapnya

Kereta Cepat Whoosh Buka 48 Perjalanan per Hari, Tarif Mulai 150 Ribu

21 menit lalu

Kereta Cepat Whoosh Buka 48 Perjalanan per Hari, Tarif Mulai 150 Ribu

Beroperasinya 48 perjalanan harian Whoosh didasarkan pada hasil evaluasi periode sebelumnya yang menunjukan kebutuhan penambahan perjalanan reguler.

Baca Selengkapnya

Hamas: Netanyahu Berusaha Gagalkan Kesepakatan Gencatan Senjata di Gaza

23 menit lalu

Hamas: Netanyahu Berusaha Gagalkan Kesepakatan Gencatan Senjata di Gaza

Pejabat senior Hamas mengatakan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berupaya menggagalkan kesepakatan gencatan senjata di Gaza.

Baca Selengkapnya

Relawan Jokowi Imbau PDIP Tak Cari Kambing Hitam Setelah Ganjar-Mahfud Kalah Pilpres

33 menit lalu

Relawan Jokowi Imbau PDIP Tak Cari Kambing Hitam Setelah Ganjar-Mahfud Kalah Pilpres

Panel Barus, mengatakan setelah Ganjar-Mahfud meraih suara paling rendah, PDIP cenderung menyalahkan Jokowi atas hal tersebut.

Baca Selengkapnya

Kopassus dan Brimob Buru Kelompok TPNPB-OPM Setelah Bunuh Warga Sipil dan Bakar SD Inpres di Papua

40 menit lalu

Kopassus dan Brimob Buru Kelompok TPNPB-OPM Setelah Bunuh Warga Sipil dan Bakar SD Inpres di Papua

Aparat gabungan TNI-Polri kembali memburu kelompok TPNPB-OPM setelah mereka menembak warga sipil dan membakar SD Inpres di Intan Jaya Papua.

Baca Selengkapnya

Pencapaian Lagu Seven Jungkook BTS

46 menit lalu

Pencapaian Lagu Seven Jungkook BTS

Lagu Seven dari Jungkook BTS menduduki peringkat teratas dalam daftar The Hottest Hits Outside the US yang dirilis oleh Billboard, pekan ini

Baca Selengkapnya

Komang Ayu Cahya Dewi Menang, Indonesia Melangkah ke Final Piala Uber 2024

52 menit lalu

Komang Ayu Cahya Dewi Menang, Indonesia Melangkah ke Final Piala Uber 2024

Komang Ayu Cahya Dewi memetik kemenangan atas wakil Korea, Kim Min Sun, dalam laga penentuan babak semifinal Piala Uber 2024. Berikut rekapnya.

Baca Selengkapnya