TEMPO Interaktif, YOGYAKARTA: Usulan Menteri Pertahanan Matori Abdul Jalil untuk memberlakukan UU semacam ISA (internal security act) yang ada di Malaysia, mendapat reaksi pedas dari sejumlah kalangan. Satu dari mereka adalah pengamat politik asal Universitas gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Dr Ichlasul Amal. Dia menyatakan tidak sependapat dengan usulan Matori.
Menurut Ichlasul Amal kondisi di Malaysia yang memberlakukan ISA sangat berbeda dengan Indonesia. Jika usulan Matori dimaksudkan untuk mengatasi persoalan terorisme, kata Ichlasul, maka UU semacam ISA bukanlah jawaban bahkan sebaliknya UU semacam ISA akan menjadi alat bagi penguasa untuk menjaga stabilitas kekuasaannya.
"Undang-undang semacam ISA adalah kebijakan yang represif dan kita cukup berpengalaman dengan situasi pada masa Orde Baru yang represif. Pemberlakuan ISA, akan memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menangkap dan menahan seseorang dalam waktu yang lama meski orang itu baru dicurigai," kata Ichlasul Amal kepada wartawan di Yogyakarta, Selasa (12/8).
Dikatakan Ichlasul, Malaysia memang memberlakukan ISA bagi warga negaranya. Persoalannya, kata Ichlasul, situasi politik di Malaysia dan di Indonesia sangat berbeda. Di Malaysia bagian utara, kata dia, masih terdapat kelompok masyarakat komunis yang dinilai bisa menjadi ancaman sehingga pemerintah setempat memandang perlu pemberlakuan UU tersebut.
Ichlasul menilai, jika rencana pemberlakukan UU semacam ISA dikaitkan dengan maraknya terorisme di Indonesia, hal itu merupakan pandangan yang terlalu menyederhanakan masalah. "Pertanyaannya apakah jika UU semacam ISA diberlakukan akan memberi jaminan bahwa terorisme menjadi reda. Saya sendiri, jelas tidak yakin ISA bisa mencegah teror bom," tegas Ichlasul.
Menurut Ichlasul, ada beberapa solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut daripada memberlakukan ISA. Menurut dia, kerja intelijen harus ditingkatkan baik secara kuantitas maupun kualitas. Kedua, membuat kebijakan yang dapat mengantisipasi munculnya kelompok militan.
"Kasus seperti itu hanya bisa dilakukan jika kelompok pinggiran yang ekstrim diberi akses politik. Jadi, persoalan ini juga merupakan kesalahan para politisi karena mereka tidak bisa menampung aspirasi dari kekuatan marjinal. Jadi maraknya terorisme itu bukan karena kita tidak punya ISA tapi ada persoalan yaitu kelompok atau faksi di masyarakat termasuk kalangan sipil yang tersisihkan itu tidak diakomodir aspirasinya," kata Ichlasul.
Ichlasul menegaskan, persoalan maraknya kasus terorisme tidak dapat dilihat secara hitam putih. Semua pihak, kata dia, harus berintropeksi karena nyatanya terorisme muncul dari kelompok marjinal. Bahan bom pun, katanya, juga bisa dibeli secara bebas bahkan banyak orang yang bisa merakitnya.
heru cn-Tempo News Room