Sejumlah penumpang mengenakan masker di Bandara Supadio di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Minggu, 15 September 2019. Sebanyak 19 penerbangan keberangkatan dan 18 penerbangan kedatangan yang dibatalkan Bandara Internasional Supadio Pontianak karena jarak pandang. ANTARA
TEMPO.CO, Jakarta - Sudah dua pekan lamanya Rendra Desviyanto dan keluarganya terpapar asap dari kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat.
Pria 30 tahun yang tinggal di Kota Memapawah, sekitar 1,5 kilometer dari Pontianak, tersebut terpaksa mengurangi aktivitasnya di luar rumah.
"Mengirup asap buat kepala pusing dan mual. Apalagi anak saya baru lahir dua bulan lalu. Betapa rentannya berhari-hari terpapar asap," katanya kepada Tempo via pesan singkat pada Senin lalu, 16 September 2019.
Rendra bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Pemerintah Kota Mempawah. Aktivitasnya di luar rumah hanya pada saat bekerja. Sebelumnya, dia berprofesi sebagai jurnalis koran nasional.
Selama asap menyelimuti kawasan tempat tinggalnya, tak sekalipun jendela rumah dibuka. Tetapi asap tetap saja masuk ke rumah. Dengan kondisi seperti itu Rendra, istri, dan anaknya sering batuk-batuk hingga mengalami demam.
"Karena kualitas udara jelek sekali."," ucapnya.
Hujan pun tak kunjung datang meski langit terlihat mendung. Langit kelabu karena asap.
Rendra heran kebakaran hutan dan lahan di wilayahnya tak kunjung teratasi. Padahal, dia sering melihat petugas melakukan pemadaman.
Rendra menduga pemadaman api tak maksimal karena kurangnya petugas. Apalagi, lahan yang terbakar cukup luas.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Agustus 2019 total luas lahan yang terbakar di Kalimantan Barat 25.900 hektare dengan jumlah hotspot (titik api) mencapai 384 titik.
Rendra berharap pemerintah tegas kepada perusahaan yang membakar lahan. Ia menuntut hukuman yang dapat membuat jera pelaku. "Kalau enggak tegas, ya cuma jadi bencana tahunan," tuturnya.