Terpidana kasus pelanggaran UU ITE, Baiq Nuril menyampaikan keterangan kepada awak media saat tiba di kantor Kemenkumham, Jakarta, Senin, 8 Juli 2019. Nuril merekam ucapan bosnya lantaran tidak nyaman sekaligus untuk menjadi bukti guna menampik tuduhan bahwa ia memiliki hubungan khusus dengan kepala sekolah tersebut. TEMPO/Muhammad Hidayat
TEMPO.CO, Jakarta-Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan peninjauan kembali (PK) Amnesti Baiq Nuril, tidak berperspektif gender.
Komisioner Komnas Perempuan Sri Nur Herawati berujar hakim dalam melihat perkara tidak melihat latar belakang terdakwa sebagai korban pelecehan seksual. "Kalau ini disebut melanggar UU ITE, ini yang disebut putusan normatif positivis, tidak melihat latar belakang ada kekerasan seksual," ujar Sri di kantornya, Senin, 8 Juli 2019.
Baiq Nuril merupakan mantan pegawai tata usaha SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang mengalami pelecehan seksual secara verbal oleh eks kepala sekolah tempatnya bekerja, Muslim. Kasus pelecehan itu ia rekam di ponsel.
Alih-alih mendapat perlindungan, Nuril malah diseret ke ranah hukum karena ia dituding menyebarkan rekaman percakapan mesum Muslim. Muslim melaporkan Nuril dengan tuduhan pelanggaran Pasal 27 ayat 1 Undang-undang ITE. Atas pelaporan ini, Nuril digelandang ke pengadilan. Namun di Pengadilan Negeri Mataram, ia terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan Nomor 265/Pid.Sus/2017/PN.
Jaksa pun mengajukan kasasi. Mahkamah Agung yang menyidangkan kasasi menjatuhkan vonis bersalah terhadap Nuril lantaran dianggap mendistribusikan informasi elektronik yang memuat konten asusila. Ibu tiga anak itu divonis 6 bulan bui dan denda RP 500 juta. Nuril mengajukan PK ke MA. Namun, MA pada menolak PK yang diajukan Baiq Nuril.
Sri menuturkan dalam proses sidang di pengadilan negeri, Komnas Perempuan hadir menjadi saksi ahli dan menjelaskan bahwa terdakwa adalah korban oleh pelapor. Di tingkat pengadilan negeri, Baiq Nuril diputuskan tidak bersalah.
Setelah perkara naik ke tingkat kasasi di MA, Baiq Nuril diputuskan bersalah. "Padahal hakim MA harusnya mengembangkan dengan analisa yang punya persepektif hukum dan gender," ujar Sri.
Sri menilai, kasus ini terjadi karena adanya kelemahan dalam hukum acara perdata di Indonesia. Untuk itu, ujar dia, Komnas Perempuan mengusulkan dirumuskannya hukum acara menyangkut kasus perempuan sebagai korban dalam RUU penghapusan kekerasan seksual