(Dari kanan) Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Pandjaitan, Sekjen Partai Keadilan Sejahtera Mustafa Kamal, Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani, Sekjen Partai Amanat Nasional Eddy Soeparno, Sekjen Partai Berkarya Priyo Budi Santoso, dan koordinator juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simanjuntak menggelar konferensi pers di Jalan Sriwijaya I Nomor 35, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, seusai rapat membahas kelanjutan Koalisi Indonesia Adil Makmur, Jumat, 28 Juni 2019. TEMPO/Budiarti Utami Putri.
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Penasehat DPP Partai Gerindra Muhammad Syafi'i menyebut partai akan tetap menjadi oposisi baik di Pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi dan parlemen. Tujuannya, untuk mewujudkan demokrasi yang sehat.
"Harus ada yang bersikap oposisi dan Gerindra sejak awal sudah menunjukkan posisi sebagai partai oposisi," kata dia di kompleks parlemen di Senayan, Jakarta, Senin, 1 Jul 2019.
Dengan begitu, kata dia, Gerindra akan menolak tawaran termasuk apabila ada jatah menteri. Politikus daerah pemilihan Sumatera Utara itu melanjutkan dengan menjadi oposisi akan terwujud sistem "check and balance" sebagai bagian dari demokrasi yang sehat yakni ada partai pendukung dan oposisi.
Walau akan menjadi oposisi, Syafi'i melanjutkan belum tentu partainya akan menjadi musuh bagi pemerintahan dan menolak seluruh kebijakan.
"Partai oposisi 'kan tidak mungkin juga, kalau ada kebijakan benar, kami tetap tidak terima saja. Oposisi yang benar itu bisa bangun check and balance, sehingga jalannya pemerintahan sesuai aturan yang ada," kata dia.
Anggota Komisi Hukum DPR RI itu menambahkan hingga saat ini kader Gerindra dari seluruh Indonesia belum dikumpulkan setelah ada putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK).
Meski demikian, kata dia, kader di daerah juga lebih memilih akan menjadi oposisi pemerintahan Jokowi atau di parlemen agar tidak akan mencederai demokrasi.