Cerita Sarwono Kusumaatmadja Menolak Jadi Inner Circle Presiden Soeharto
Reporter
Untung Widyanto
Editor
Untung Widyanto
Sabtu, 28 Juli 2018 20:08 WIB
TEMPO.CO, Jakarta –Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tahun 1988-1993, Sarwono Kusumaatmadja pernah menolak bujukan Presiden Soeharto untuk menjadi inner circle atau ‘Orang Cendana’.
“Saya menolak karena sinyal-sinyalnya tidak clear,” kata Sarwono Kusumaatmadja kepada Tempo seusai peluncuran memoar dan HUT yang ke-75 di Jakarta Selatan pada Sabtu 28 Juli 2018.
Peluncuran memoar berjudul ‘Menapak Koridor Tengah’ itu dihadiri sekitar seratus tamu undangan. Tampak hadir Rahman Tolleng, Arifin Panigoro, Fikri Jufri, Rosita Noor, Wimar Witoelar dan pejabat di Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta puluhan aktivis lingkungan dan keberlanjutan.
Baca juga: Dua Tahun Istri Sarwono Kusumaatmadja Menderita Kanker
Jenderal (Purn) Soeharto, kata Sarwono Kusumaatmadja, memiliki dua sisi: sebagai presiden dan seseorang yang memiliki dirinya sendiri.
Sebagai bawahan dan atasan, Sarwono Kusumaatmadja, dalam kapasitasnya sebagai menteri, akan mengikuti perintah Soeharto sebagai presiden. Namun ketika ditawari untuk menjadi bagian dari lingkaran dalam Soeharto, Sarwono Kusumaatmadja secara tegas menolaknya.
Bujukan Soeharto
<!--more-->
Dalam buku setebal 290 halaman, Sarwono Kusumaatmadja memaparkan secara rinci bujukan dari Soeharto, tidak lama setelah dia dilantik sebagai Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) pada tahun 1998.
Pada awal menjabat, Sarwono Kusumaatmadja meminta waktu bertemu dengan Presiden Soeharto untuk meminta arahan. Ternyata pertemuan berlangsung sekitar pukul 20.30 di kediaman Soeharto di Jalan Cendana, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat.
Keduanya bertemu dalam suasana sepi dan tak ada lagi wartawan yang berada di ruang tunggu. Pertemuan pertama ini diikuti dengan perjumpaan selanjutnya setiap pekan dengan waktu dan tempat yang sama, di Jalan Cendana.
Pertemuan tersebut tidak selalu atas permintaan Sarwono Kusumaatmadja. Kadang-kadang Soeharto sendiri yang memanggil Sarwono Kusumaatmadja, mantan Sekretaris Jenderal Golkar, untuk menghadap.
“Percakapan yang terjadi selalu monolog. Pak Harto bercerita panjang lebar tentang pengalaman masa lalu serta berbagai perjumpaannya dengan tokoh-tokoh masa tersebut,” tulis Sarwono dalam memoar dengan sub judul ‘Pertemuan Cendana.’
Pada awalnya, Sarwono yang mantan Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITB (1967 – 1968), tertarik dengan cerita Soeharto. Dia menyimak dan mengajukan beberapa pertanyaan.
Lama-kelamaan Sarwono Kusumaatmadja merasa janggal. Karena selama tiga bulan itu, setiap pertemuan satu pekan sekali, Soeharto sama sekali tidak memberikan arahan tentang pekerjaannya sebagai menteri.
Sarwono kemudian berkonsultasi dengan Letjen (Purn) Soedharmono dan Jenderal (Purn) Benny Moerdani. Saat itu Soedharmono adalah wakil presiden. Ketika Soedharmono menjadi Ketua Umum Golkar, Sarwono menjadi sekretaris jenderalnya.
Sementara Benny Moerdani saat itu menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan. Sarwono Kusumaatmadja pertama kali kenal dengan Benny pada saat sama-sama menjadi anggota delegasi Center for Strategic and International Studies (CSIS) mengunjungi Korea Selatan tahun 1980.
Pertama-tama, Sarwono Kusumaatmadja menemui Soedharmono. Dia bertanya tentang arti pertemuan-pertemuan malam hari dengan tema yang sama dengan Pak Harto.
“Oh, itu artinya situ sedang dijajaki apakah bisa direkrut sebagai orang dalam (inner circle). Berarti Pak Harto sedang menjajaki, apakah orang yang namanya Sarwono ini bisa diajak untuk bekerja, tidak hanya sebagai menteri semata, tetapi juga sebagai anggota kelompok inti di sekitar beliau,” demikian penjelasan Soedharmono.
Sarwono bertanya bagaimana seharusnya dirinya bersikap.
“Lha terserah. Pilihan itu berpulang pada diri sendiri,” ujar Soedharmono, mantan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg).
Jawaban Benny Moerdani
<!--more-->
Soedharmono bercerita kalau dirinya saat menjadi Mensesneg (di Kabinet Pembangunan II sampai IV) pernah menjadi orang dalam (inner circle). Menurut Soedharmono, bebannya sangat berat, banyak yang diketahuinya namun harus tutup mulut.
Kadang-kadang, ujar Soedharmono, ada perintah Presiden Soeharto yang harus dilaksanakan padahal hati kecilnya mempertanyakan perintah itu. Selain itu, dia harus pandai-pandai menafsirkan arahan Soeharto.
“Kalau tidak kuat menanggung beban tersebut kita bisa mengalami disorientasi dan perilaku kita bisa menjadi aneh,” ujar Soedharmono lagi.
Sarwono kemudian menjumpai Benny Moerdani. “Jawaban Pak Benny mirip dengan uraian Pak Dhar. Semuanya berpulang pada diri saya,” tulis Sarwono.
Sarwono kemudian merenung. Dia akhirnya memutuskan tetap berada di koridor tengah dan menolak masuk ke dalam inner circle Soeharto.
Pada saat Soeharto memanggil kembali malam hari ke kediamannya di Jalan Cendana, Sarwono sudah mempersiapkan diri untuk menyampaikan keputusannya.
Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya selama tiga bulan itu, Pak Harto bercerita hal-hal yang sifatnya amat pribadi. Setelah selesai, dia berkata mendapat banyak hal dalam diskusi selama ini dengan Pak Harto.
“Tapi, mohon maaf, saya tidak terbiasa bercakap tentang hal-hal yang terlalu pribadi. Lagi pula Bapak belum memberikan arahan kepada saya selaku menteri, padahal beberapa laporan sudah saya sampaikan,” ujar Sarwono.
Seketika itu juga, wajah Soeharto terlihat berubah mengeras. Kemudian berkata ke Sarwono, “Silahkan minum.”
Setelah berbasa-basi sejenak, Sarwono mohon pamit. Keluar dari Jalan Cendana, dia merasa plong, lega saat itu.
Asal-usul Waskat
<!--more-->
Apakah Soeharto marah?
Beberapa waktu kemudian, Sarwono memohon waktu bertemu untuk melaporkan pekerjaannya. Ternyata, Presiden Soeharto menyediakan waktu pada pukul 10 pagi di Bina Graha, kantor presiden. Bukan lagi di Jalan Cendana dan pada malam hari.
Soeharto memberi arahan mengenai pelaksanaan pengawasan melekat. Lebih dari satu jam keduanya berdiskusi soal tema itu.
Presiden Soeharto amat menguasai soal pengawasan melekat yang laporannya telah disampaikan Sarwono sebelumnya.
Presiden Soeharto dalam posisi resminya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, ujar Sarwono Kusumaatmadja, bersikap jernih, lugas, dan menguasai seluk-beluk kebijakan publik.
“Namun di tengah ‘inner circle’-nya, Pak Harto bisa menjadi orang yang sulit diterka dan dibaca arah kemauannya,” ujar Sarwono.
Sarwono Kusumaatmadja mengakui andaikata dia memilih menjadi inner circle atau Orang Cendana, mungkin akan menemukan dirinya dalam dunia abu-abu yang tidak jelas. Dia harus selalu menebak-nebak apa yang menjadi kemauan Presiden Soeharto.
“Suasana yang tak jelas dan remang-remang, tidak cocok dengan pembawaan diri saya. Jika situasi semacam itu dipaksakan akibatnya akan buruk. Bukan saja bagi diri saya sendiri melainkan juga untuk pelaksanaan tugas sebagai pejabat publik,” katanya.
Pada tahun 1993-1998, Sarwono Kusumaatmadja dipercaya kembali oleh Presiden Soeharto menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup. Kemudian oleh Presiden Abdurrahkan Wahid, Sarwono Kusumaatmadja diangkat sebagai Menteri Eksplorasi Kelautan Indonesia masa bakti 1999-2001.