Eks Napi: Kelompok Teroris Saat Ini Kuat karena Doktrin
Reporter
Friski Riana
Editor
Arkhelaus Wisnu Triyogo
Sabtu, 19 Mei 2018 12:24 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Yudi Zulfachri, mantan narapidana kasus terorisme, menilai ada perbedaan antara kelompok teroris Jamaah Islamiyah dan kelompok teroris yang berkembang saat ini. "Kalau dulu, bersifat strategi dalam memilih target, misalnya aksi di tempat asing karena ada seruan dari Al-Qaeda," kata Yudi dalam diskusi di Warung Daun, Jakarta, Sabtu, 18 Mei 2018.
Yudi menuturkan generasi pelaku teroris saat ini terbentuk karena kekuatan doktrin yang masuk ke dalam tauhid. Artinya, ucap Yudi, pelaku terorisme melakukan sesuatu sebagai pembuktian imannya atau tauhidnya. Ia menjelaskan, kelompok teroris memandang bahwa mereka belum sah menjadi orang Islam jika belum mengingkari thogut, meski telah mengucapkan syahadat.
Baca: Cara BNPT Naikkan Kewaspadaan Usai Aman Abdurrahman Dituntut Mati
Yudi berujar, anggota kelompok didoktrin untuk membenci dan memusuhi kelompok yang dianggap thogut, seperti Kepolisian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia. Kebencian dan permusuhan itu, menurut dia, masuk dalam syariat keimanan para pelaku terorisme. "Kalau belum ada kebencian, iman belum sah. Maka, untuk dibuktikan, mereka melakukan aksi. Kalau belum melakukan aksi, imannya rasanya belum sah," ucapnya.
Doktrin atas kebencian dan permusuhan dilakukan hampir setiap hari. Menurut Yudi, para pelaku terorisme tidak akan tahan dengan hidup normal. Doktrin kebencian yang kuat inilah yang membuat kelompok teror kehilangan akal sehat.
Baca: Sidang Aman Abdurrahman, LPSK: Kompensasi buat Korban 2 Aksi Bom
Karena itu, Yudi mengatakan, generasi pelaku terorisme saat ini rentan mengajak anak-anaknya. "Kalau dia mati sendiri, anaknya berbahaya. Bisa kafir kalau ditinggal. Jadi diajak, supaya sama-sama ke surga," ujarnya.
Dalam serangkaian bom di Jawa Timur, para teroris turut mengajak anak-anaknya dalam melakukan aksinya. Misalnya, pelaku pengeboman tiga gereja di Surabaya dilakukan oleh satu keluarga, yaitu suami, istri, dan empat anaknya. Dalam aksi bom di Markas Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya pada Senin, 14 Mei 2018, terduga pelaku yang merupakan pasangan suami-istri, Tri Murtiono dan Tri Ernawati, membawa anaknya, AIS, 8 tahun.