Terdakwa kasus pemberian keterangan palsu dalam sidang kasus KTP Elektronik Miryam S Haryani menyampaikan pertanyaan kepada saksi ahli dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 18 September 2017. Sidang lanjutan tersebut menghadirkan saksi ahli psikologi Reni Kusumawardani yang memaparkan hasil observasi terstruktur atas tiga video pemeriksaan terdakwa Miryam di KPK. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa pemberian keterangan palsu dalam perkara korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP), Miryam S. Haryani, keberatan dengan vonis lima tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Ia berkukuh tak bersalah.
"Sejak pertama sudah saya katakan, jangankan jadi terdakwa atau terpidana, jadi tersangka saja sejak awal saya keberatan," kata Miryam di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin, 13 November 2017.
Meski majelis hakim menyatakan Miryam terbukti berbohong mendapatkan perlakuan intimidatif dari penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. "Saya katakan itu di pengadilan, apa yang saya rasa, saya ungkapkan di pengadilan," kata politikus Hanura tersebut.
Miryam menilai bukti rekaman CCTV yang ditayangkan dalam persidangan tidak bisa menjadi bukti bahwa ancaman tersebut tidak ada. "Saya sudah protes berkali-kali, rekaman itu hanya dua menit," katanya. Ia pun menyatakan keberatan atas vonis hakim dan mempertimbangkan untuk mengajukan banding.
Majelis hakim memvonis Miryam dengan lima tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan. Hakim menilai Miryam telah dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar saat bersaksi dalam sidang kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik.
Vonis hakim terhadap Miryam S. Haryani lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebelumnya, jaksa menuntut agar Miryam mendapatkan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan. Miryam dijerat dengan Pasal 22 juncto Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.