Menaker: Karena Difabel Harus Mendapat Akses Kerja
Rabu, 8 November 2017 16:51 WIB
TEMPO.CO, Solo - Duduk di bangku bambu, Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri berbincang santai dengan Suwarji dan Supono Duta, dua penyandang difabel (tuna daksa). Obrolan santai sambil menikmati hidangan angkringan itu, berlangsung di Rumah Blogger Indonesia (RBI), di kawasan Jajar, Solo, Jawa Tengah, Selasa malam, 7 November 2017. RBI merupakan tempat berkumpulnya para blogger dan difabel. Pada malam hari, mereka membuka kedai angkringan dan musik akustik.
Malam itu, mengenakan sarung biru yang dipadukan dengan kemeja putih dan bersandal jepit, Hanif sengaja mampir ke RBI untuk berbincang dengan para difabel. “Saya ke sini terkait dengan akses pelatihan keterampilan bagi para difabel, serta perluasan kesempatan kerja bagi mereka. Dengan mendapatkan masukan langsung dari mereka, kebijakan penyediaan akses pelatihan keterampilan dan kesempatan kerja, sesuai dengan yang dibutuhkan,” ujarnya.
Koordinator penyandang difabel Solo, Suwarji, yang sehari-hari bekerja di sebuah tailor jas mengatakan kalau mereka memiliki potensi dan membutuhkan akses lebih dari pemerintah. “Kami punya potensi. Kami juga bekerja. Kami berharap pemerintah memberikan akses pelatihan keterampilan kerja,” katanya.
Kepada Menteri Hanif, ia berharap, selain pelatihan skill, pemerintah juga memberikan akses permodalan dan bantuan alat kerja. Alasannya, dengan keterbatasan fisik, banyak penyandang cacat yang lebih nyaman bekerja secara mandiri.
Tentang jenis pelatihan apa yang paling dibutuhkan para difabel di Solo, Suwarji menyebut pelatihan menjahit, IT atau programmer.
Atas masukan tersebut, Hanif menyatakan akan menjadikannya sebagai masukan penting dalam pengembangan balai latihan kerja (BLK). “Karena teman-teman difabel juga berhak mendapatkan akses untuk meningkatkan keterampilan serta mendapatkan pekerjaan yang baik,” ucapnya.
Di tengah perbincangan, hadir Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara yang ikut bergabung menikmati angkringan dan musik akustik.
Lain halnya masukan dari Aprilian Bima, mahasiswa Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Solo, yang juga penderita tuna rungu. Dia dan beberapa rekannya ingin mendapatkan pelatihan keterampilan membuka kafe. Atas keinginan tersebut, Hanif menawarkan pelatihan barista kepada para penyandang tuna rungu. “Kementerian Ketenagakerjaan punya program pelatihan barista dan pelatihan keterampilan lain untuk memperluas kesempatan kerja,” tuturnya.
Melalui bantuan penerjemah bahasa isyarat, Bima mengaku girang dengan tawaran tersebut. “Iya, kami mau mengikuti pelatihan menjadi barista,” katanya dengan bahasa isyarat.
Keinginan tersebut sejalan dengan rencana Bima yang juga sebagai Ketua Gerakan Kesejahteraan untuk Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) Solo. Ia sedang getol mensosialisasikan Bahasa Isyarat Indonesia (Basindo) kepada masyarakat sebagai bahasa komunikasi. Di kafe itu, mereka akan mensosialisasikan Basindo. Dipengujung perbincangan, Hanif menyempatkan belajar bahasa isyarat kepada Bima. (*)