Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti (kedua kiri) dikawal petugas memasuki gedung KPK, Jakarta, 20 Juni 2017. Tim satuan Petugas (Satgas) KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Gubernur Bengkulu, Ridwan Mukti dan istrinya Lily Martiani Maddari serta dua orang pengusaha di bidang kontraktor dan satu kepala dinas terkait salah satu proyek di Bengkulu. TEMPO/Eko Siswono Toyudh
TEMPO.CO, Bengkulu - Tim jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Jhoni Wijaya, Direktur PT Statika Mitra Sarana (SMS), dengan hukuman 4 tahun penjara karena diduga menyuap Gubernur Bengkulu nonaktif, Ridwan Mukti, sebesar Rp 1 miliar.
"Meminta majelis hakim menjatuhkan putusan kepada terdakwa karena sah melakukan korupsi dengan 4 tahun kurungan penjara dan denda Rp 200 juta atau subsider 6 bulan penjara," kata jaksa Herry B.S. Ratna Putra pada pembacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bengkulu pada Kamis, 19 Oktober 2017.
Jhoni dianggap telah melanggar Pasal 5 ayat 1-a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Menanggapi tuntutan tersebut, kuasa hukum Jhoni, Anno, mengatakan pihaknya akan menyiapkan pembelaan minggu depan. "Kita siapkan pembelaan minggu depan," katanya.
Jhoni Wijaya tertangkap tangan menyuap Gubernur Bengkulu nonaktif, Ridwan Mukti, oleh KPK pada pertengahan Juni lalu.
Tidak hanya Jhoni, KPK menangkap Ridwan Mukti dan istrinya, Lily Maddari, serta seorang penghubung, Rico Dian Sari. Saat ini persidangan ketiganya pun telah memasuki agenda mendengarkan keterangan saksi.
KPK menduga Ridwan Mukti meminta para kontraktor pemenang lelang proyek jalan di daerahnya menyetor komisi. Padahal Ridwan adalah inisiator yang meminta KPK melakukan koordinasi pengawasan pencegahan korupsi di daerah yang ia pimpin.