TEMPO.CO, Canberra - Sejumlah pakar Indonesia atau lebih dikenal sebagai Indonesianis yang berkumpul di Konferensi Indonesia Update 2015 di Canberra, Australia, setuju dengan pandangan bahwa Presiden Joko Widodo alias Jokowi seharusnya bisa mengelola pemerintahannya dengan lebih baik.
Hari pertama konferensi tahunan yang digelar Australian National University tersebut memang membahas situasi politik dan ekonomi terbaru di Indonesia. Meski banyak pandangan yang bernuansa kritis, ada harapan Jokowi bakal kembali pada karakter awal dan memenuhi janji-janji kampanyenya di tahun kedua pemerintahannya.
Sesi politik dalam konferensi ini dibawakan oleh pakar politik Burhanuddin Muhtadi, dan ditanggapi oleh peneliti ANU, Eve Warburton. Sedangkan sesi ekonomi disampaikan oleh ekonom Universitas Padjajaran Arief Anshory Yusuf dan ditanggapi Vincent Ashcroft, ekonom Australia yang banyak menangani program AusAid di Indonesia.
"Karakter pemerintahan Jokowi menunjukkan indikasi besarnya pengaruh para pengusaha oligarki, " kata Burhanuddin Muhtadi dalam pemaparan makalahnya. Secara khusus dia mengulas peristiwa pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi dan penunjukkan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, awal 2015 lalu.
Menggunakan kerangka teori pakar politik dari Northwestern University, Boston, Jeffrey Winters, Burhanuddin menilai politik Indonesia kini lebih bisa dijelaskan dengan teori oligarki kekuasaan ketimbang teori politik kartel. "Keberadaan oposisi yang kuat di parlemen dan kecilnya koalisi pemerintah, menunjukkan pemerintahan Jokowi bukan kartel," katanya. Namun, beberapa keputusan Jokowi yang kerap dipengaruhi kekuatan politik besar di sekelilingnya seperti Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, menunjukkan peran oligarki kekuasaan yang kian besar.
Kondisi ini diperparah oleh karakter Jokowi sendiri yang tidak tertarik melakukan reformasi politik mendasar di bidang politik, hukum dan keamanan. Mengutip pakar politik Marcus Mietzner, Burhanuddin menyebut karakter Jokowi sebagai "teknokrat populis yang pragmatis".
Pengamat politik ANU Eve Warburton setuju dengan pengamatan Burhan. Namun dia menambahkan faktor lemahnya kepemimpinan Jokowi sendiri turut andil dalam banyak blunder di tahun pertama pemerintahannya. "Proses pengambilan keputusan Presiden Jokowi kerap membingungkan, tidak konsisten dan tiba-tiba. Orang-orang di sekelilingnya kerap terkejut dengan keputusan Jokowi yang menunjukkan betapa tidak jelasnya proses pengambilan keputusan di Istana," kata Eve. Dia menyebut proses pengambilan keputusan Jokowi sebagai "black box" yang penuh misteri.
Dari sisi ekonomi, Arief Anshory menyoroti makin kuatnya tendensi proteksionisme dan intervensionis dalam pengelolaan ekonomi Indonesia. Selain itu, dia melihat lemahnya kebijakan ekonomi yang mendorong sektor manufaktur lebih berorientasi ekspor. "Indonesia membutuhkan lebih banyak solusi pembangunan yang berdasarkan mekanisme pasar ketimbang mengharapkan peran negara yang masih belum optimal," kata Arief sembari menunjuk aplikasi Go-Jek sebagai contoh ideal inovasi ekonomi berbasis pasar yang bisa mengangkat sektor informal dan mengurangi pengangguran di kota-kota besar.
WAHYU DHYATMIKA