TEMPO.CO, Jakarta - Politikus Partai Golkar, Bambang Soesatyo, memprediksi pada 2016 pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla akan tetap gaduh seperti yang terjadi pada tahun ini. Hal itu disampaikan pada Rabu, 30 Desember 2015. Bambang berujar, sejumlah persoalan yang belum terselesaikan tahun ini bakal menjadi pemicu kegaduhan tahun depan, seperti isu reshuffle kabinet, skandal Freeport, dualisme kepengurusan Partai Golkar dan PPP yang berlarut-larut, serta desakan pencopotan Rini Soemarno.
"Kegaduhan yang ditimbulkan saling serang antarmenteri atau pembantu presiden diprediksi akan tetap terjadi," ujar Bambang.
Perseteruan antarpartai pendukung pemerintah terkait dengan kursi menteri pun menurut Bambang akan menambah kegaduhan politik di era pemerintahan Jokowi. "Dengan masuknya PAN dan tidak menutup kemungkinan akan disusul beberapa partai dari KMP lainnya, puncak kegaduhan akan terjadi pada 2016. Belum lagi kegaduhan dalam parlemen jika kelak Pansus Freeport benar-benar digulirkan," katanya.
Selain itu, menurut Bambang, kegaduhan dari sisi ekonomi juga akan datang dari berbagai program Bantuan Langsung Tunai pada Februari-Maret 2016, yang jika tidak ditambah melalui APBN Perubahan akan menimbulkan masalah baru. "Termasuk target penerimaan dari tax amnesty," ujar Bambang.
Tahun ini, pemerintahan Jokowi juga berjalan dengan penuh kegaduhan. Menurut Bambang, kegaduhan pada 2015 dibuka oleh episode Polri versus KPK Jilid II dan ditutup dengan mundurnya Ketua DPR Setya Novanto akibat skandal "Papa Minta Saham".
"Semua kegaduhan itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses konsolidasi pemerintahan baru Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Selain faktor kegaduhan akibat ulah sejumlah tokoh, tahun ini pun sarat masalah dan tantangan," kata Bambang.
Selain terjadi kegaduhan dalam pemerintahan, menurut Bambang, ketidakpastian global juga menjadi penyebab lambatnya pertumbuhan ekonomi nasional. Posisi rupiah mengalami tekanan terhadap sejumlah valuta utama dunia. "Terhitung sejak awal 2015 hingga pekan kedua September, depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat mencapai 15,87 persen," ujarnya.
Bambang menambahkan, terdapat pula dua faktor lokal yang ikut menekan ekonomi dalam negeri. Menurut Bambang, harga komoditas unggulan Indonesia di pasar internasional masih rendah. Selain itu, pemerintah juga gagal memaksimalkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebagai motor pertumbuhan. "Hal itu ditandai dengan lambannya penyerapan anggaran sepanjang 2015," tutur anggota Komisi Hukum DPR itu.
Bahkan, ia mengatakan hampir semua pemerintah daerah juga gagal memaksimalkan anggaran. "Hingga akhir 2015, sekitar Rp 270 triliun anggaran pembangunan daerah hanya diendapkan di sejumlah bank karena banyak pejabat daerah takut mengeksekusi proyek-proyek pembangunan, yang anggarannya telah disetujui," kata Sekretaris Fraksi Partai Golkar tersebut.
ANGELINA ANJAR SAWITRI