TEMPO Interaktif, Jakarta:Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang permohonan hak uji terhadap pasal hukuman mati dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Permohonan kali ini diajukan oleh Scott Anthony Rush, terpidana mati kasus penyelundupan heroin dari Denpasar, Bali, ke Australia.Denny Kailimang, kuasa hukum Scott, meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal-pasal hukuman mati dalam Undang-Undang Narkotika itu. Sebab, hukuman mati bertentangan dengan konvensi hak-hak sipil. Selain itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 28A dan 28I. ”Setiap orang memiliki hak hidup, dan itu bersifat universal,” ujar Denny di Mahkamah Konstitusi, Selasa (6/2). Pasal yang diminta untuk dikoreksi adalah pasal 80, 81, 82 Undang-Undang Narkotika. Menurut Denny, ketiga pasal itu bertentangan dengan kedua pasal Undang-Undang Dasar 1945. ”Pasal-pasal saling bertentangan,” ujarnya.Permohonan serupa pernah diajukan Todung Mulya Lubis, kuasa hukum empat terpidana mati kasus narkoba, yakni Edith Yunita Sianturi, Rani Andriani alias Melisa Aprilia, Myuran Sukumaran, dan Andrew Chan. Myuran dan Andrew adalah warga negara asing. Permohonan itu diajukan pada Kamis (1/2) lalu.Sama seperti empat terpidana mati ini, hakim konstitusi Muktie Fadjar selaku ketua majelis hakim panel dalam sidang pemeriksaan pendahuluan berkas permohonan hak uji itu mempertanyakan kedudukan hukum Scott. Sebab, Scott adalah warga negara asing.Namun, menurut Denny, Undang-Undang Dasar 1945 tidak hanya berlaku untuk warganegara Indonesia. “Pasal dalam konstitusi itu berlaku untuk setiap orang yang berada di wilayah hukum Indonesia,” ujarnya.Walhasil, hakim panel menawari Denny selaku pemohon untuk menggabungkan permohonan mereka dengan permohonan hak uji yang diajukan Todung. “Itu bisa saja dilakukan. Kami akan mempertimbangkan setelah memperbaiki berkas-berkas permohonan,” ujar Denny seusai sidang.Kartika Candra