TEMPO Interaktif, Jakarta:Penolakan terhadap rencana penerbitan Inpres pembentukan Aparat Pengawas Internal Pemerintah dan Undang-Undang Rahasia Negara kembali mengemuka. Kali ini penolakan mengemuka dalam acara bertajuk "Jangan Adili Jurnalis Ungkap Korupsi" yang diprakarsai Persatuan Jurnalis Indonesia, di Taman Ismail Marjuki, Jumat (21/7) siang. Tokoh yang hadir antara lain Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Hidayat Nur Wahid, staf ahli Komisi Pemberantasan Korupsi, Abdullah Hehamahua, dan anggota Dewan Pers Leo Batubara. Menurut Hidayat, aturan itu secara prinsipil bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi. "Tentu kita tidak menginginkan produk undang-undang yang bertentangan dengan semangat besar untuk melawan korupsi," ujarnya.Menurut Hidayat, seluruh produk perundangan pemerintah di era reformasi ini mestinya senafas dengan penegakkan hukum, upaya pemberantasan korupsi, dan membuka seluas-luasnya akses terhadap kebebasan memperoleh informasi. "Tidak justru sebaliknya." Semua upaya itu hanya mungkin dilakukan bila pers memiliki kewewenangan yang besar untuk memperoleh dan menyampaikan informasi pada masyarakat. Peran strategis ini, kata Hidayat, mesti terus didorong oleh masyarakat melalui wakilnya di DPR. Meski sepakat menolak rencana aturan itu, Hehamahua punya pendapat berbeda. Menurutnya, Inpres pembentukan Aparat Pengawas Internal Pemerintah hanya akan membatasi tugas kejaksaan, polisi, dan KPK--secara tidak langsung--dalam mengungkap kasus korupsi. Yang ia sayangkan, dalam Inpres APIP, terdapat klausul yang memungkinkan seorang pelaku korupsi terbebas dari tuntutan pidana bila yang bersangkutan mengembalikan dana hasil korupsinya. Menurut Hehamahua, hal itu tidak masuk diakal. Sebab, pengembalian uang dalam perkara korupsi tidak otomatis menghilangkan unsur pidananya. "Saya gak ngerti, apakah Menteri Hukum ngerti aturan KUHAP," ucapnya. Riky Ferdianto