Menteri Pendidikan Tolak Permintaan Turki Menutup Sekolah
Editor
Budi Riza
Sabtu, 30 Juli 2016 04:25 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menolak permintaan pemerintah Turki kepada pemerintah Indonesia untuk menutup sekolah dan kampus yang diduga terafiliasi dengan Fethullah Terrorist Organisation.
Itu merupakan organisasi yang dituding pemerintah Turki terkait dengan Fethullah Guelen, ulama Turki yang diduga dalang kudeta terhadap Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan beberapa waktu lalu.
"Sementara, kami akan menolak pihak mana pun yang meminta menutup lembaga-lembaga itu," kata Muhadjir saat ditemui di Kharisma Bangsa Bilingual Boarding School, Tangerang, Jumat, 29 Juli 2016.
Permintaan pemerintah Turki itu tercantum dalam siaran pers yang dimuat di laman resmi Kedutaan Besar Turki pada Kamis, 28 Juli 2016. Ada sembilan sekolah yang dianggap terafiliasi dengan Guelen, antara lain Kharisma Bangsa dan Pribadi Bilingual Boarding School, Depok.
Turki juga meminta pemerintah menghentikan kegiatan sebuah lembaga yang terafiliasi Guelen yang berlangsung di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun Muhadjir menyatakan UIN berada di bawah kewenangan Kementerian Agama.
Alasan penolakan itu, menurut Muhadjir, adalah sebagai bentuk perlindungan bangsa, seperti diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945. Sembilan sekolah itu juga, ucap Muhadjir, tidak dibiayai Turki. "Mereka (siswa) juga membayar, dan bayarnya mahal," ujarnya.
Muhadjir berjanji akan melindungi nasib ribuan siswa dan orang tua. Lantaran sembilan sekolah itu telah mengantongi izin pemerintah, Kementerian Pendidikan juga akan menggunakan izin itu sebagai perlindungan.
"Tidak cukup alasan untuk menutup sekolah karena tidak ada kaitan dengan lembaga yang selama ini dianggap bermasalah dengan pemerintah Turki," tuturnya.
Menurut Muhadjir, surat keputusan Organisasi Internasional Non-Pemerintah yang dipegang Kementerian Luar Negeri pada 2015 juga menyatakan lembaga Pasiad, organisasi non-pemerintah yang digerakkan masyarakat Turki, sudah tidak ada. Semua guru juga tidak terafiliasi dengan Pasiad.
Siswa kelas XI A Sekolah Menengah Atas Pribadi, Depok, Umar Syaifussdiq, mengaku terganggu dengan isu itu. Selama dia belajar di SMA Pribadi, sekolah tidak mengajarkan soal teroris.
"Belajar bahasa Turki, iya. Itu fitnah. Saya mulai risih," tuturnya. Adapun permintaan Turki masih dibahas Kementerian Pendidikan dengan Kementerian Luar Negeri.
MUHAMAD RIZKI | ATIKA NUSYA | INGE KLARA SAFITRI (JAKARTA) | IMAM HAMDI (DEPOK)