Sukarno, Edhi Sunarso, dan Kisah Patung Anti-Imperialisme
Editor
Sunu Dyantoro
Selasa, 5 Januari 2016 11:06 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Wajah tuanya tampak gembira tapi matanya berkaca-kaca ketika patung itu resmi ia serahkan kepada Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Sebelumnya, perguruan tinggi seni ini menganugerahkan penghargaan Empu Ageng Seni kepada laki-laki itu, seniman patung Edhi Sunarso. Kegembiraan Edhi makin lengkap ketika ia akhirnya, pada saat yang sama, bisa menggelar pameran tunggal pertama, pada usia 77 tahun, dengan memamerkan 45 karya patung individual di Jogja Gallery.
Sosok yang tergambar pada patung itulah soalnya. Patung berjudul Potret Wajah Terakhir Putra Fajar itu menghasilkan siluet potret diri Bung Karno, presiden pertama republik ini, yang mengakhiri pengabdiannya lewat sakit dan menjadi tahanan rumah. Potret diri Sukarno atau Soekarno terbentuk dari campuran garis-garis tegas abstrak geometris dengan garis-garis representasional dari bahan tembaga dengan teknik las kenteng. Ada rantai dan gembok, simbol pemenjaraan dirinya. Hasilnya: citraan sosok Sukarno yang keras hati tapi punya perasaan halus. ”Tokoh yang dekat dengan kesenian dan sangat menghargai seni,” tulis Edhi dalam katalog pameran.
Pameran patung Edhi Sunarso ini pernah dimuat Majalah Tempo edisi 25 Januari 2010. Edhi Sunarso wafat Senin, 4 Januari 2016 pada pukul 22.53. Jenazah disemayamkan di rumah duka Griya Seni Kustiyah Edhi Sunarso, Desa Nganti RT 02 RW 07, Jalan Cempaka No. 72, Mlati, Sleman, Yogyakarta, dan akan dimakamkan di makam seniman Imogiri. Jenazah akan diberangkatkan dari rumah duka pukul 13.00, Selasa, 5 Januari 2016.
Rasa haru Edhi tidak mengada-ada. Sukarno-lah yang menyebabkan Edhi berkutat dalam proyek pembangunan banyak patung monumen dan diorama sejarah sepanjang kariernya sebagai seniman patung. Keterlibatannya pertama kali dengan proyek patung monumen dan diorama sejarah adalah berkat kecerdikan Bung Karno dalam mengobarkan rasa patriotisme dan nasionalisme dalam diri Edhi, yang pernah bergerilya pada masa revolusi. Pada usia belasan tahun, Edhi pernah menjadi komandan pasukan sabotase, bergerilya dari lima kantong gerilya di Jawa Barat; ia pernah tertangkap Belanda dan dibui selama tiga tahun.
Sebagai bekas gerilyawan, tantangan Bung Karno, tugas menggarap proyek patung Selamat Datang pada 1958, membuat Edhi tak tahan. Patung setinggi sembilan meter dari perunggu itu, dirancang untuk mempercantik Jakarta yang akan menyambut kedatangan 144 delegasi olahraga negara yang baru lepas dari cengkeraman kolonialisme, dikenal dengan sebutan The New Emerging Forces.
Kala itu Soekarno menantang nasionalisme Edhi: apakah harus mendatangkan seniman asing untuk menggarap patung itu? Tantangan ini membuat Edhi melupakan kenyataan bahwa ia belum pernah membuat patung setinggi itu. ”Jangankan sembilan meter, sembilan sentimeter pun (saya) belum pernah membuat patung dari perunggu,” ujar Edhi. Lima tahun sebelumnya, ia memang pernah membuat monumen Tugu Muda di Semarang bersama Sanggar Pelukis Rakyat, tapi dari bahan batu. Saat itu juga belum ada bengkel yang punya pengalaman mengecor perunggu. Toh, patung Selamat Datang selesai juga meski tingginya berkurang menjadi enam meter.
Dalih nasionalisme pula yang digunakan Bung Karno untuk memaksa Edhi menerima tawarannya membuat diorama di Monumen Nasional. ”Saya bukan saja tidak pernah membuat diorama, melainkan saya juga tidak pernah melihat seperti apa itu diorama,” katanya. Bung Karno tak peduli. Edhi akhirnya setuju. Ia pulang ke Yogyakarta berbekal empat jilid buku yang disusun 23 sejarawan senior.
RAIHUL FADJRI, SUNUDYANTORO