Bung Tomo, Kisah Radio Pemberontakan dengan Pemancar Sitaan
Editor
raymundus rikang
Senin, 9 November 2015 23:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sore hari selepas kumandang adzan maghrib pada pertengahan Oktober 1945 di Surabaya. Nada-nada akustik dari lagu Tiger Shark ciptaan Peter Hodgkinson mengalun ritmis. Sesaat rekaman musik grup band The Hawaiian Islander itu diputar, arek-arek Suroboyo langsung mendekat ke corong pengeras suara yang tergantung di kampung-kampung.
Di penghujung lagu, suara pria memekikkan takbir dan salam revolusi seketika menggelegar. “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!” teriak pria itu di ujung siaran radio. Empunya suara bariton itu tak lain ialah Sutomo alias Bung Tomo.
Lalu, berhamburanlah jargon-jargon politik dan retorika pengobar semangat perjuangan. Detik-detik siaran radio itu diceritakan kembali oleh Bambang Sulistomo, putra Bung Tomo, dua pekan lalu. “Radio tersebut mengudara untuk menyerang balik propaganda tentara sekutu,” dia berujar.
Menurut buku Pertempuran Surabaya, cikal bakal berdirinya radio tak lepas dari peran Moestopo, Ketua Badan Keamanan Rakyat Jawa Timur, saat itu. Prajurit pimpinan Moestopo sukses menyita transmiter radio dari tangan Jepang dan menghibahkannya pada Bung Tomo.
Moestopo pula yang menyarankan Bung Tomo menyembunyikan pemancar ke Tegalsari untuk menghindari pelacakan sekutu. Saat pemancar bergelombang pendek 34 meter itu dipindah, Bung Tomo merasa perlu memodifikasinya agar jangkauan sinyal lebih luas.
Ia lalu meminta bantuan Hasan Basri, Ali Oriep, dan Soemedi – teknisi radio sekaligus anggota Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia yang dibentuk Bung Tomo – untuk menyempurnakan pesawat radio. Berbekal transmiter sederhana atau biasa disebut zender itu, orasi Bung Tomo lewat Radio Pemberontakan resmi mengudara pada 15 Oktober 1945.
SIMAK: Pidato Bung Tomo, Dimulai Lagu Tiger Shark Lalu Allahu Akbar
Radio itu konsisten mengudara selama pertempuran Surabaya 10 November. Namun, beberapa hari setelah perang, markas siaran di Jalan Mawar ditutup. Pusat kendali siaran dipindah ke Bangil, sekitar 60 kilometer di sisi tenggara Surabaya. Tak ketinggalan, transmiter juga ikut diboyong ke Bangil.
“Bung Tomo tetap datang sepekan dua kali untuk siaran,” ujar K’Tut Tantri, perempuan Amerika keturunan Skotlandia yang membantu Bung Tomo menyiarkan berita dalam bahasa Inggris. Cerita itu dituturkan K’Tut Tantri dalam bukunya Revolt in Paradise.
SIMAK: Apa Peran Bung Tomo di Perang Surabaya 10 November 1945?
Kiprah Radio Pemberontakan akhirnya benar-benar tamat di tangan Presiden Sukarno. Dia memerintahkan penghentian siaran karena orasi Bung Tomo dianggap terlalu provokatif di tengah upaya diplomasi yang digelar pemerintah dengan sekutu.
Meski siaran disetop, pemancar radio masih dipakai saat Agresi Militer Balanda II pada 1948. Di bawah komando Mohammad Jasin yang memimpin Mobiele Brigade Polisi Jawa Timur, Radio Gerilya mengudara. “Pusat Kepolisian Indonesia yang terakhir memakai pemancar Radio Pemberontakan,” tulis Bung Tomo di buku Dari 10 Nopember 1945 ke Orde Baru.
Siapa sosok Sutomo alias Bung Tomo sesungguhnya? Baca selengkapnya Edisi Khusus Bung Tomo Penyebar Warta Palagan Surabaya di Majalah Tempo Pekan Ini.
TIM TEMPO