Kendaraan bermotor melewati jalanan yang tertutup kabut asap. Malaysia terkena imbas dari tebalnya kabut asap, akibat kebakaran lahan dan hutan di wilayah Sumatra, Indonesia. Malaysia, 6 Oktober 2015. REUTERS/Edgar Su
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Perwakilan Daerah asal Riau, Intsiawati Ayus, mendukung wacana pemerintah Malaysia yang akan menggugat perusahaan pembakar lahan di Indonesia. Alasannya, kata Intsiawati, kebanyakan pemilik korporasi pembakar hutan justru berasal dari Negeri Jiran tersebut. "Saya senang ada wacana itu, sebab 70 persen pemilik perusahaan pembakar justru orang Malaysia," kata Instiawati, dalam diskusi di Restoran Gado-gado Boplo, Jakarta, Sabtu, 10 Oktober 2015. Dengan gugatan itu pemerintah Malaysia akan tahu duduk persoalannya dan tak sekadar menyalahkan Indonesia.
Malaysia dan Singapura bereaksi keras terhadap kebakaran hutan di Indonesia. Selain melalui sosial media, pemerintah kedua negara juga dikabarkan menggugat perusahaan pembakar lahan. Bahkan, Singapura telah melayangkan somasi kepada lima perusahaan yang dianggap melakukan pembakaran. Selain mendukung upaya gugatan, Intsiawati juga meminta agar pemerintah melakukan moratorium pembukaan lahan perkebunan. Jika tidak, bencana asap yang saat ini tengah mengepung Kalimantan dan Sumatera sangat mungkin merembet ke Papua dan Sulawesi lima tahun mendatang. Parahnya kebakaran yang saat ini terjadi Sumatera dan Kalimantan, menurut Instiawati, juga tak lepas dari lemahnya kontrol pemerintah daerah. "Tujuh tahun lalu saya bilang ada moratorium, tapi tak dilakukan pemerintah di Kalimantan dan Sulawesi. Akhirnya sekarang jadi seperti ini," ujarnya.
Seharusnya, kata Instiawati, setiap ada pembukaan lahan perkebunan, perusahaan mesti menyerahkan rencana kegiatan tahunan kepada pemerintah. Rencana inilah yang kemudian dikontrol oleh dinas-dinas terkait di daerah. "Kapan buka lahannya, kapan menanamnya. Tapi ini tak ada."
Selain sudah menimbulkan bencana besar, moratoriunm juga harus dilakukan karena perkebunan sawit saat ini kebanyakan sudah beroperasi sejak 1980-an dan sudah melakukan tanam ulang atau replanting kedua. Atas asumsi ini, Instiawati menilai perusahaan perkebunan sudah tak layak mendapat perpanjangan lagi.