Presiden Joko Widodo didampingi Ibu Negara Iriana Widodo, Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin, Gubernur Jawa Timur Soekarwo, dan Presiden Republik Indonesia ke-5, Megawati Soekarnoputri secara resmi membuka Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, 1 Agustus 2015. TEMPO/Subekti
TEMPO.CO, Jombang - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dituding membiarkan Muktamar NU menjadi ajang perang partai politik. Diduga, ada ratusan penyusup utusan parpol yang menyamar sebagai peninjau. Tudingan ini disampaikan Salahuddin Wahid, yang melihat kerasnya cara-cara panitia mengendalikan Muktamar NU.
Sepanjang sejarah pelaksanaan Muktamar Nahdlatul Ulama, Salahuddin menilai Muktamar NU kali ini yang paling kacau. "Jelas sekali, banyak kepentingan parpol yang bermain dan mencari untung di NU," kata Gus Solah--panggilan akrab Salahuddin--di Jombang, Jawa Timur, Minggu, 2 Agustus 2015.
Secara terang-terangan, adik Abdurrahman Wahid ini menyebut ada pihak tertentu yang menawarkan imbalan kepada peserta Muktamar untuk memilih calon Ketua Umum dan Rois Aam NU. Transaksi ini dilakukan mulai di tempat asal cabang masing-masing dan di asrama peserta. Karena itu, dia menegaskan tak akan membiarkan orang-orang seperti itu membuat kekacauan di Muktamar.
Gus Solah merasa heran dengan sikap Pengurus Besar NU yang terkesan membiarkan perang kekuatan politik terjadi di Muktamar. Bahkan NU dianggap sudah mulai kehilangan ruh jihad dengan masuknya pragmatisme. "Ini Muktamar NU atau PKB (Partai Kebangkitan bangsa)," tutur Gus Solah menyindir.
Mantan Ketua NU era kepemimpinan Hasyim Muzadi, Andi Jamaro, bahkan menemukan ratusan penyusup. Mereka, menurut dia, utusan partai yang diberi surat menjadi anggota peninjau. Tujuannya, mempengaruhi opini muktamirin dalam sidang komisi dan pleno. "Saya menemukan ratusan orang yang seperti ini," katanya.