Seorang anak melihat dari kejauhan anak buaya yang berjemur di atas daratan di tengah sungai Kali Porong, Sidoarjo, 4 Mei 2015. Kemunculan sejumlah hewan reptil ini menarik rasa ingin tahu warga untuk datang memadati bantaran sungai untuk melihat kemunculan buaya. FULLY SYAFI
TEMPO.CO, Surabaya - Penolakan evakuasi buaya muara oleh warga sekitar perairan hulu Sungai Porong direspons Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Bupati Sidoarjo Saiful Illah memenuhi permintaan warga Dusun Awar Gunting, Desa Tambak Rejo, menjadikan kawasan itu obyek wisata.
Menurut pakar ekoturisme dari Universitas Airlangga, Nurdin Razak, ada beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan penetapan obyek wisata ini. “Pemerintah Sidoarjo harus menurunkan tim lingkungan untuk mengkaji serius persoalan ini. Jangan sampai buaya itu mati karena ekosistemnya rusak,” ujarnya saat dihubungiTempo, Senin, 8 Juni 2015.
Warga setempat, kata Nurdin, harus diedukasi mengenai jarak aman buaya dengan manusia. Menurut dia, idealnya lokasi wisata itu diberi pagar agar tidak terjadi konflik antara buaya dan pengunjung. “Keterangan soal jarak aman itu pun harus sesuai dengan arahan ahli reptil, bukan versi penduduk atau dinas pariwisata,” katanya.
Berdasarkan informasi yang ia pelajari, buaya berjenis Crocodylus porosus di sana tak terusik meski hanya berjarak 10 meter dengan manusia. “Mungkin ada perubahan perilaku. Tapi jika teorinya harus minimum jarak 20 meter, ya harus dipatuhi. Jangan sampai perubahan perilaku yang membuat mereka tampak jinak itu malah membuat masyarakat abai terhadap keselamatan,” kata dosen pariwisata itu.
Tak cukup meresmikan kawasan tersebut sebagai wisata, pemerintah memiliki kewajiban lain. Menurut Nurdin, pemerintah wajib memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai tanggung jawab terhadap lingkungan. “Pemerintah harus mengedukasi bahwa ekosistem itu dijaga sebagai area konservasi,” ucapnya.
Dosen pariwisata itu mengungkapkan, wisata buaya Porong ini sebaiknya dilihat sebagai suatu entitas kesatuan wilayah konservasi desa ekowisata. “Sekalian dibikin profesional. Jadi, ada regulasi dan pertanggungjawaban lingkungan dari masyarakat desa itu. Mereka juga punya hak dan kewajiban untuk memperhatikan kelangsungan hidup dan ekosistem si buaya.”
Sebelumnya, Gubernur Soekarwo mengingatkan akan bahaya satwa itu dengan tetap meminta petugas Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Jawa Timur meyakinkan warga untuk memindahkan buaya-buaya tersebut. “Ya, saya juga minta ke Pak Bupati supaya menyadarkan ke masyarakat,” katanya pada Jumat, 5 Juni 2015.
Soekarwo juga mengatakan keselamatan jiwa jauh lebih berharga ketimbang pendapatan dari parkir dan berjualan. Soekarwo cemas lantaran aliran sungai tempat buaya itu bermukim cukup dekat dengan dusun. “Sungainya akrab dengan masyarakat. Ya, tugas negara melindungi rakyatnya.”