Sri Sultan Hamengkubuwono X (tengah), berikan sambutan atas logo baru Jogja istimewa di kompleks kantor Gubernur DI. Yogyakarta, 5 Februari 2015. Logo baru Jogja, digagas oleh tim 11 yang berisi relawan, akademisi dan budayawan. TEMPO/Suryo Wibowo
TEMPO.CO, Yogyakarta - Saat Sultan Hamengku Bawono X menghadapi protes adik-adiknya akibat keputusannya selaku Raja Keraton Yogyakarta mengubah nama dan gelarnya lewat Sabdaraja, penduduk pesisir pantai Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, menggugat beleid Sultan sebagai Gubernur.
Ratusan warga Kulon Progo menggeruduk kantor Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta untuk mengajukan gugatan izin penetapan lokasi pembangunan bandara udara, Senin 11 Mei 2015. Mereka membentangkan poster dan spanduk, antara lain berbunyi: Bandara Berarti Perang.
"Petani yang keberatan bukan berarti menolak semangat pembangunan. Pengembangan bandara ini hanya berorientasi ekonomi, tapi tak mengembangkan hidup petani," kata ketua paguyuban Wahana Tri Tunggal Kelik Martono, Senin 11 Mei 2015.
Sebanyak 43 orang yang tergabung dalam paguyuban itu menyerahkan surat gugatan bersama kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Sasarannya, surat keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta nomor 68/KEP/2015 tentang penetapan lokasi untuk pembangunan bandara pengganti bandara Adi Sutjipto itu.
Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X menetapkan lahan seluas 645,63 hektar untuk pengembangan bandara di desa Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran dan Kebonrejo di Kecamatan Temon Kulon Progo. Akibatnya, sekitar 600 kepala keluarga harus dipindahkan. Keputusan Gubernur DIY itu dinilai menyengsarakan penduduk.
Menurut Hamzal Wahyudin, dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, pembangunan bandara itu berdampak pada lima desa. Pembuatan surat keputusan itu pun tak sesuai prosedur. "Seharusnya sebelum dikeluarkan izin penempatan lokasi dilakukan sosialisasi dan konsultasi publik dengan warga," ujar dia.
Nyatanya, sosialisasi dan konsultasi publik tak transparan dan tak bertanggungjawab. “Banyak warga tak dilibatkan,” katanya. Empat penduduk kini malah diadili dengan tuduhan menghasut.
Selain itu, izin penempatan lokasi itu melanggar asas pemerintahan yang baik. Juga melanggar undang-undang tata ruang nasional karena pembangunan bandara di pesisir Kulon Progo berpotensi terancam tsunami. "Tergugat harus mencabut surat keputusan itu," kata dia.
Rizky Fatahillah, Ketua Tim Pendampingan Hukum LBH Yogyakarta menyatakan lahan yang akan digusur adalah lahan produktif. “Mayoritas penduduk adalah petani penggarap lahan sawah dan kebun," ujar Rizky. Bahkan peraturan pemerintah nomor 26 tahun 2008 tentang tata ruang nasional menyebutkan tak ada rencana pembangunan bandara baru di DIY.
Sebelumnya Pemerintah DIY mempersilakan penduduk menggugat jika tak setuju. Surat gugatan pun langsung diregister. "Akan ditentukan majelis hakimnya, paling lambat sembilan hari sudah ada jadwal sidang," kata Panitera Muda Perkara PTUN Yogyakarta, Himawati.