Putri Sri Sultan Hamengkubuwono X (dari kiri); GKR Condro Kirono, GKR Pembayun, dan Gusti Raden Ajeng (GRAJ) Nur Astuti Wijareni, di Dalem Yudhaningratan Yogyakarta, 4 Oktober 2010. GKR Pembayun lahir di Bogor, 24 Februari 1972 adalah putri pertama Sultan dengan Gusti Kanjeng Ratu Hemas. Dok.TEMPO/ Arif Wibowo
TEMPO.CO , YOGYAKARTA—Puluhan spanduk bernada protes terbentang di kawasan Titik Nol Kilometer, Jalan Ibu Ruswo, Jalan Kauman, Pasar Ngasem, dan Simpang Gondomanan. Spanduk berwarna putih berukuran 0,5x3 meter persegi itu muncul sejak Jumat pekan lalu dan makin banyak jumlahnya sehari kemudian. Dengan tulisan berwarna hijau, spanduk itu bertuliskan “Kembalikan Paugeran-Jogja Tetap Istimewa”.
Identitas spanduk itu hanya tertulis: Warga Kauman. Kauman merupakan kampung yang dihuni warga Muhammadiyah di Yogyakarta yang terletak berdekatan dengan Keraton Yogyakarta. (Baca Juga: Tahanan BNN Kabur, Jalan Kaki di Tol Lalu Naik Truk Sayur)
Koordinator pemasang spanduk itu, Muhammad Muslih, 32 tahun, kepada Tempo mengaku spanduk itu sebagai protes terhadap Raja Keraton Yogyakarta yang dianggap menyalahi adat-istiadat keraton. "Raja menghapus khalifatullah dalam gelarnya seperti menurunkan wibawanya sendiri," ujar Muslih, koordinator paguyuban parkir di area Alun-alun Utara, Sabtu pekan lalu.
Sultan Hamengku Buwono X mengubah nama dan gelarnya. Hal itu dia umumkan di Keraton Yogyakarta pada Kamis pekan lalu. Salah satu dari pengumuman itu ialah penghilangan kata khalifatullah.
Muslih mengaku setidaknya berhasil mencetak 200 spanduk sejenis untuk melawan dan memprotes Sabda Raja itu. "Kami pasang di seluruh kabupaten dan Kota DIY biar warga tak cuma diam, tapi gumregah saat ada masalah seperti ini," ujarnya. (Baca Juga: Batu Giok Aneh: Dipahat Ramai-ramai, Macetkan Jalan di DKI)
Menurut Muslih, dana untuk membikin seluruh spanduk itu adalah dari patungan masyarakat, terutama kampungnya di Kauman. Ada yang menyumbangkan Rp 20 ribu-1 juta. "Ini inisiatif kami sebagai warga yang peduli nasib keraton sebagai sumbu budaya Yogyakarta,” kata dia. “Raja juga manusia yang bisa salah, harus diingatkan.”
Awal pekan ini Muslih akan mengumpulkan wakil dari 60 pondok pesantren di DIY untuk menggelar aksi menolak Sabda Raja. "Kami tak setuju sama sekali lima poin Sabda Raja itu. Semua menyalahi paugeran keraton, termasuk wacana raja perempuan," ucapnya.