Presiden Joko Widodo, menyapa para pejabat Malaysia, dalam upacara sambutan di kompleks Bunga Raya bandara KLIA, Sepang, Malaysia, 5 Februari 2015. Kunjungan Jokowi, untuk lawatan ke negara tetangga dan kerjasama bilateral. REUTERS/Olivia Harris
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, menilai Kementerian Dalam Negeri berlebihan alias lebay dalam mengeluarkan surat edaran soal penyebutan nama Presiden Joko Widodo. Menurut dia, Kemendagri seharusnya memikirkan soal jalannya pemerintahan daerah, bukan mengurusi nama.
"Apa relevansinya, urgensinya, dan signifikansinya? Sebaiknya Kemendagri tak usah lebay," kata Siti saat dihubungi, Jumat, 6 Februari 2015.
Siti menuturkan konstitusi memang tak mengatur penyebutan nama presiden. Di dalam konstitusi, hanya diatur penegasan bahwa presiden adalah pemegang otoritas tertinggi, meskipun negara menganut sistem otonomi daerah.
Pada 26 Januari 2015, Kemendagri mengeluarkan surat edaran yang diteken Sekretaris Jenderal Yuswandi Temenggung. Isinya, "Menindaklanjuti arahan Bapak Presiden Indonesia pada saat pertemuan Bapak Presiden Republik Indonesia dengan para bupati sewilayah Pulau Sumatera pada hari Kamis, 22 Januari 2015, bertempat di Istana Kepresidenan Bogor."
"Bersama ini disampaikan bahwa untuk keseragaman dalam penyebutan nama dan jabatan Bapak Presiden Republik Indonesia pada saat acara resmi kenegaraan maupun kunjungan kerja di provinsi, kabupaten, dan kota, penyebutannya sebagai berikut: YANG TERHORMAT, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, BAPAK JOKOWI."