TEMPO.CO , Pangkalan Bun-Dua penyelam ahli dengan perangkat selam khusus menceburkan diri ke dalam Laut Jawa yang permukaannya diaduk-aduk cuaca buruk. Satu penyelam turun lebih dulu untuk memasang pemberat pada tali, sebagai titik koordinat objek temuan. Penyelam kedua akan berhenti di kedalaman tertentu selama beberapa menit sesuai dengan tabel perhitungan.
"Tali jalan", sebutan untuk tali koordinat antara penyelam dengan supervisor di kapal, juga diikatkan di mulut objek puing. Tali inilah pegangan utama sang penyelam agar segala proses evakuasi sesuai dengan perencanaan. Cerita penyelaman di lokasi yang diduga menjadi lokasi terbenamnya puing pesawat AirAsia QZ 8501 itu dituturkan Kepala Dinas Penyelamatan Bawah Air Armada Kawasan Barat (Dislambair Armabar) Letkol Laut (T) Ferdy Hendarto Susilo di Posko TNI Lapangan Udara Iskandar Pangkalan Bun, Selasa, 6 Januari 2015.
"Jangka waktu, dan proses penyelaman sudah diperhitungkan dalam dive plan. Penyelam di-briefing terlebih dulu," kata Ferdy.
Sebanyak 66 penyelam yang menumpang dua kapal yaitu Geo Survey dan KRI Banda Aceh bersiap di lokasi yang diperkirakan tempat karamnya badan AirAsia QZ8501. Tak semua penyelam diterjunkan langsung untuk mencari jasad dan tubuh pesawat AirAsia QZ 8501. Penyelam tak akan beroperasi jika tim belum menemukan titik koordinat pasti puing pesawat.
"Laut itu luas dan bukan habitat kita, jadi semua harus penuh perhitungan bukan meraba," kata Ferdy. Penyelam sangat memperhitungkan arus laut, jarak pandang, dan kondisi tubuh sebelum penyelaman. (Baca juga: Beda Alat Pencari Black Box Air Asia dan Adam Air)
Penyelam dibagi menjadi beberapa grup berdasarkan kedalaman penyelaman, dan tabel decompressions stops atau waktu penghentian. Penyelaman repetitif atau mengulangi penyelaman dalam waktu kurang dari 12 jam, sangat riskan terhadap decompression sickness atau kondisi menumpuknya nitrogen dalam darah hingga menyumbat aliran darah. Jika dekompresi akut, penyelam bisa lumpuh atau meninggal. (Baca juga: Hari ke-10, Tiga Jenazah Lagi Teridentifikasi)
<!--more-->
Penyelam di kedalaman 30 meter harus berhenti dua kali di kedalaman dan waktu tertentu agar tidak terjadi dekompresi. Di kedalaman ini, tekanan bawah air mencapai 4 atmosfer absolut.
"Kalau penyelam membangkang dan melebihi batas itu, nitrogen dalam tubuh harus dinormalkan dengan alat hyperbaric chamber," kata Ferdy. Alat hyperbaric chamber berupa tabung berisi oksigen murni yang berguna untuk menormalkan aliran darah pada tubuh penyelam.
Ferdy menjelaskan proses evakuasi korban dan puing pesawat juga tak bisa dilakukan sembarangan. "Kami tetap memanusiakan korban, kalau bisa dipeluk badannya supaya seluruh badan utuh," kata dia.
Namun, tim penyelam punya cara berbeda saat mengevakuasi jasad korban yang terperangkap di badan pesawat. Pertama, tim akan menurunkan tali jalan ke moncong badan pesawat. Lalu, dua penyelam turun, satu langsung ke badan pesawat, dan satu lagi berada di tengah.
Penyelam yang turun ke badan pesawat akan memasang tali jiwa di lorong badan pesawat sebagai pegangan. Dia lalu mengikat korban dengan tali, lalu dioper dengan tali jalan ke permukaan laut. "Fungsi tali yaitu petunjuk jalan dan pegangan supaya jasad tak hilang terbawa arus," kata Ferdy.
Dislambair akan menunggu perintah Kementerian Perhubungan untuk mengangkat tubuh pesawat. Alat pengangkatan berupa floating bag. (Yang unik: 3 Prajurit Kece dan Misi Berburu Air Asia)
PUTRI AIDTYOWATI
Terpopuler:
Jokowi Diingatkan Tolak Budi Gunawan untuk Kapolri
Pemandu di Bus Wisata Curhat 'Kejamnya' Ahok
Ulama Malaysia Haramkan Yoga dan Kopi Luwak
Misteri Slot Air Asia, Aroma Kongkalikong Menguat
Kenapa Anak-anak Selamat dalam Kecelakaan Pesawat?