Sejumlah pelajar ketika terlibat tawuran di Jembatan Pasar Klender, Jakarta, Rabu (22/5). Seorang pelajar menjandi korban dengan mengalami luka di kepala. TEMPO/Dian Triyuli Handoko
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Arist Merdeka Sirait tak sependapat dengan Dinas Pendidikan Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta ihwal sanksi bagi siswa yang terlibat dalam tawuran, perisakan, narkoba, dan seks bebas. Pemerintah seharusnya bisa memisahkan antara konsekuensi dari pelanggaran yang dilakukan oleh pelajar dan hak anak akan mengenyam pendidikan.
"Konsekuensi akan perilaku menyimpang itu perlu, namun jangan menghilangkan hak anak atas pendidikan," ujarnya ketika dihubungi Tempo, Ahad, 7 Desember 2014.
Pemerintah Provinsi DKI memiliki rencana untuk mengeluarkan siswa yang terlibat tawuran, perisakan, narkoba, dan seks bebas. Aturan tersebut bertujuan untuk mengurangi tawuran pelajar yang kerap terjadi.
Sepanjang Januari-Otober 2013, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) mencatat ada 229 kasus tawuran pelajar. Jumlah ini meningkat sekitar 44 persen dibanding tahun lalu yang hanya 128 kasus. Dalam 229 kasus kekerasan antarpelajar SMP dan SMA itu, 19 siswa meninggal dunia.
Pemerintah, kata Arist, seharusnya fokus pada penyebab pelajar terlibat tawuran bukan fokus pada sanksi bagi siswa yang berujung pada hilangnya akses peserta didik pada pendidikan.
Arist menyarankan, pemerintah untuk memberikan sanksi sosial bagi pelajar yang terlibat tawuran. "Palajar yang terlibat tawuran bisa disuruh kerja bakti membersihkan lingkungan atau bekerja di panti jompo," ujarnya.