Aktivis perempuan menggelar unjuk rasa peringatan kerusuhan Mei di sekitar bundaran HI Jakarta Pusat (18/05). Aksi tersebut untuk mengingatkan kepada masyarakat mengenai tindak kekerasan seksual saat kerusuhan Mei 1998 yang pelakunya belum terungkap. TEMPO/Dasril Roszandi
TEMPO.CO, Bandung - Komnas Perempuan bersama mahasiswa dan sejumlah lembaga perlindungan perempuan di Kota Bandung menggelar aksi Kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP). Kampanye ini bertujuan untuk mengedukasi masyarakat bahwa isu kekerasan terhadap perempuan masih menjadi permasalahan pada tataran nasional dan global. (Baca: Republik Cangik, untuk SuaraPerempuan)
Ketua panitia pelaksana kampanye 16 HAKTP, Ismoro Reza Prima Putra, mengatakan, dalam aksi kampanye, Kota Bandung mengangkat isu "Street Harassment" atau kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan di ruang publik. "Asumsi kami, 95 persen perempuan pernah mengalami street harassment, misalnya digoda di jalan dengan panggilan atau siulan," kata Ismoro kepada Tempo di Bandung, Rabu, 26 November 2014. (Baca: Kongo, Negara Paling Berbahaya untuk Wanita)
Khusus Kota Bandung, kampanye 16 HAKTH dengan isu "Street Harassment" mengangkat tagline "Nama Saya Bukan Neng". Tema ini untuk mengingatkan masyarakat bahwa kata "Neng" kerap dipakai sebagai senjata lelaki untuk menggoda perempuan, dan ini merupakan tindak kekerasan terhadap perempuan. "Meski terkesan sepele, hal itu penting karena bisa menjadi awal tindak kekerasan seksual lainnya," kata Ismoro. (Baca: Komnas Perempuan: Stop Tes Keperawanan)
Selain itu, panitia membuat petisi supaya pemerintah segera mengesahkan RUU Anti-Kekerasan Seksual terhadap Perempuan. "Targetnya, Bandung bisa menyerahkan seribu petisi ke Komnas Perempuan untuk disampaikan ke DPR supaya segera mengesahkan Undang-Undang Kekerasan Seksual," ujar Ismoro.
Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani menuturkan street harassment pada umumnya terjadi di angkutan umum karena jumlah kendaraan yang sedikit dan orang berdesak-desakan. Namun, menurut Komnas Perempuan, pemisahan ruang publik yang dilakukan oleh pemerintah saat ini bukanlah solusi untuk mengurangi kekerasan seksual tersebut. "Pemisahan ruang publik antara lelaki dan perempuan sebenarnya bukanlah jawaban," katanya. (Baca: Peringati Hari Transgender, Aktivis Yogyakarta Diserang)