TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indrati menyarankan pemerintah Indonesia mencabut hukuman mati bila ingin warganya yang tinggal di negara lain tidak dieksekusi mati. Menurut dia, itulah satu-satunya kunci bagi pemerintah untuk bisa melobi negara lain yang menjerat buruh migran atau warga negara Indonesia dengan hukuman mati.
"Jadi, sebaiknya pemerintah mengoreksi hukum di dalam negeri agar ketika ada lobi-lobi untuk melindungi buruh migran, pemerintah tidak terbebani," kata Poengky ketika dihubungi, Ahad, 30 Maret 2014. Imparsial adalah lembaga swadaya masyarakat yang mengawasi dan menyelidiki pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia. (Baca: Tolak WNI Dipancung, Pemerintah Disarankan Cabut Hukuman Mati)
Menurut dia, hukuman mati di Indonesia bertentangan dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal tersebut menyebutkan negara menjamin hak untuk hidup bagi warganya.
Selain itu, menurut Poengky, berdasarkan aturan internasional, hukuman mati hanya diperbolehkan untuk the most serious crime, seperti pelaku genosida. Sedangkan di Indonesia, hukuman mati dengan mudah diberlakukan untuk gembong narkoba, pelaku pembunuhan berencana. "Itu tidak masuk the most serious crime," ujar dia.
Poengky mengatakan hukuman mati di Indonesia yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan warisan dari Belanda sejak 1870. Belanda sendiri, kata dia, sejak 1990-an sudah menghapus hukuman mati. "Sehingga Indonesia sudah kehilangan dasar pijakan legal. Seharusnya pemerintah menghapus pasal hukuman mati," ujarnya.
Mengutip data Kejaksaan Agung, menurut Poengky, sampai saat ini terdapat 132 orang dipidana mati yang menunggu eksekusi di dalam negeri. "Mereka belum dieksekusi karena masih diberikan upaya banding, kasasi, PK, dan upaya lainnya," kata dia. Adapun pada 2013, Poengky mengatakan lima orang sudah dieksekusi mati oleh penegak hukum Indonesia.
"Kami curiga eksekusi pada 2013 untuk menunjukkan penegakan hukum dengan baik. Ini justru untuk kepentingan politis," ujarnya. Namun, justru hal ini merugikan citra Indonesia di mata luar negeri.
Saat ini, tenaga kerja wanita asal Ungaran Jawa Tengah, Satinah, sedang menanti hukuman pancung di Arab Saudi. Dia terbukti membunuh majikannya, Nura Al Garib, pada 2007. Satinah mengaku terpaksa membunuh karena dituduh mencuri duit majikannya sebesar 38 ribu riyal. Ibu satu anak itu juga sering dianiaya dan dilecehkan oleh majikannya.
Pengadilan Arab Saudi menjatuhkan hukuman pancung kepada buruh migran itu. Jika ingin dimaafkan, Satinah harus membayar diyat 7 juta riyal atau setara Rp 21 miliar. Hingga kini, pemerintah baru mendepositokan Rp 12 miliar. (Baca: Diyat Satinah Berkurang Jadi Rp 15 Miliar?).
Masyarakat juga mulai saweran untuk pembayaran diyat Satinah ini. Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri, di Arab Saudi saja terdapat 39 orang lagi yang terancam hukuman mati.
LINDA TRIANITA
Baca juga:
Wajah Tirus Aurel, Ini Kata Pakar
Ada Lelucon Tender BUMN di Ketoprak Dahlan Iskan
Spanduk 'Moyes Out' Terbang di Langit Old Trafford
4 Perwira Pengeroyok Dokter TNI AU Jadi Tersangka
Ketoprak BUMN, Dahlan Iskan Disindir Soal Pemilu