Papan reklame raksasa Roy Suryo selamati Pernikahan Putri Sultan Hamengku Buwono X di Yogyakarta (22/10). Tempo/Suryo Wibowo
TEMPO.CO, Yogyakarta - Mayoritas inkumben dari presiden maupun anggota legislatif yang mencalonkan diri kembali dalam Pemilihan Umum 2014 dinilai melakukan pelanggaran etika politik.
Berbagai cara ditempuh tanpa harus bersinggungan dengan aturan kampanye. "Yang dilanggar itu etika politik. Sejak awal mereka merancang itu," kata sosiolog Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Arie Sudjito, kepada Tempo, Selasa, 25 Maret 2014.
Pelanggaran etika politik yang dimaksud di antaranya kehadiran inkumben dalam berbagai acara di daerah pemilihannya. Semisal acara yang berkaitan dengan jabatannya maupun mendompleng acara pejabat lain.
Begitu pula melakukan kampanye lebih awal dan memasang foto diri dalam baliho ukuran raksasa. Panitia Pengawas Pemilu susah menjeratnya karena tidak melanggar aturan. "Aturan kan mereka (inkumben) juga yang buat. Itu tidak pantas secara etika," kata Arie.
Untuk mencegah pemilih tidak dininabobokan janji dan pencitraan inkumben, kata Arie, yaitu dengan memperkuat pendidikan politik. Pemilih harus cerdas dan kritis dengan melihat rekam jejak inkumben. "Karena banyak orang sudah lupa kelakuan inkumben saat menjabat," kata Arie.
Pemilihan Presiden Juli 2014 lalu menjadi etos baru bagi rakyat untuk menentukan calon pemimpinnya. Bagi saya dan sebagian pemilih Jokowi, yang untuk pertama kalinya memilih dalam pemilihan, karena sebelumnya golongan putih, ada motif yang menggerakkan kami. Salah satu motif itu adalah janji kampanye Jokowi yang bertitel Nawacita.