TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Mahkamah Agung M. Hatta Ali mengaku belum menerima surat rekomendasi dari Komisi Yudisial mengenai hukuman nonpalu selama enam bulan kepada majelis hakim agung yang mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali Sudjiono Timan, buronan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Rp 2,2 triliun. "Sampai sekarang surat KY belum sampai ke kita. Jadi, kita belum bersikap untuk menolak atau melaksanakan rekomendasi itu," kata dia usai Rapat Pleno Istimewa di Sekretariat MA Jakarta, Rabu, 26 Februari 2014. (baca: KY Panggil Ulang Majelis PKSudjionoTiman)
Menurut Hatta, pihaknya harus melihat apa yang dijadikan masalah oleh KY. "Permasalahan yang diangkat oleh KY itu berkaitan dengan teknis atau non-teknis," tanya dia. Musababnya, kata dia, bila berkaitan dengan teknis, maka MA yang memiliki kewenangan mengawasi masalah teknis harus berhati-hati. "Karena kita menjaga independensi hakim yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar," ujar mantan Ketua Pengadilan Negeri Manado itu. (baca: KY Periksa 4 Hakim PKSudjionoTiman)
Apabila berkaitan dengan nonteknis, seperti kode etik dan perilaku hakim, menurut Hatta, rekomendasi itu bisa dilaksanakan. "Karena kalau tidak ada independensi hakim, yang paling saya kuatirkan hakim tidak punya keberanian memutus perkara. Apalagi akan melawan arus hukum," kata dia.
Komisi Yudisial menganggap majelis hakim yang memutus PK Sudjiono Timan dalam pertimbangannya menafsirkan sendiri pendapat ahli Yahya Harahap bahwa PK dapat diberikan oleh mereka yang menaati putusan. Padahal, Timan kini menjadi buronan Kejaksaan Agung sehingga dianggap tidak menaati putusan. (baca: 5 Hakim Pembebas SudjionoTiman Diadukan ke KY)
Majelis PK tersebut diketuai hakim agung Suhadi. Anggotanya antara lain Sri Murwahyuni, Andi Samsan Nganro, Abdul Latief, dan Sophian Martabaya. Dari kelima hakim tersebut, hakim Sri Murwahyuni menyatakan dissenting opinion karena Sudjiono termasuk dalam 14 koruptor yang menjadi buron Kejagung.