TEMPO Interaktif, Jakarta: Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia(PBHI) menyatakan, pengadilan HAM pada 2004 dimanfaatkan untuk mencuci perbuatan pelanggaran HAM. Mereka melihat peradilan yang dilakukan sebatas untuk menebus dosa. "Pelaku setelah dibebaskan malah naik pangkat dan menduduki jabatan tertentu,” kata Johnson Panjaitan, ketua PBHI, dalam Catatan Akhir Tahun 2004 di Jakarta, Selasa (25/1).Johnson menengarai, pelaku kejahatan HAM semakin dilindungi oleh perangkat hukum yang ada. "Bahkan jaringannya tidak hanya tingkat daerah, nasional saja, juga internsional,” paparnya. Dia mencontohkan kasus pelanggaran HAM di Timor Timur yang tidak hanya melibatkan Indonesia tapi juga negara lain dan badan dunia. PBHI juga melihat negara tidak melakukan proses penindakan hukum yang benar dan independen.Selama 2004, PBHI telah melakukan advokasi terhadap beberapa kasus. ”Yang kami prioritaskan adalah kasus Papua, Aceh, Poso, kasus Buyat, dan perlindungan terhadap kebebasan menyampaikan pendapat,” terang dia. Untuk Poso, PBHI menandai pada 2004 perdagangan senjata ilegal marak di sana. PBHI menduga, aparat berada dibalik maraknya senjata dan bahan peledak. "Sudah jelas, peluru yang dijual merk Pindad,” tandasnya. Meski Indonesia sebagai Ketua Komisi HAM PBB, menurut dia, tidak akan mengubah wajah penegakan hukum. ”Karena dari beberapa kali pertemuan, jika disinggung penegakan HAM, Indonesia bersama Amerika dan beberapa negara bersifat defensif,” kata dia.Sutarto-Tempo