Tak Patuhi Putusan MK, Negara Rampas Hutan Adat
Editor
Anton Septian
Senin, 27 Januari 2014 23:27 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan menuding negara tak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang menggugurkan kuasa negara atas hutan milik masyarakat adat dalam Undang-Undang Kehutanan. Gara-gara ketakpatuhan itu, sepanjang 2013 kasus perampasan wilayah hutan masyarakat adat oleh negara terbilang tinggi.
"Sepanjang 2013, ada 143 kasus perampasan tanah dan pengusiran masyarakat adat di Indonesia," kata Abdon dalam konferensi pers “Catatan Awal Tahun AMAN” di Jakarta, Senin, 27 Januari 2014.
Menurut Abdon, sebanyak 143 kasus itu sebetulnya bukanlah jumlah kasus yang sebenarnya. Banyak lagi kasus perampasan dan pengusiran terhadap masyarakat adat yang tak tercatat karena masyarakat adat tersebut belum bisa mendokumentasikan kasus yang menimpa mereka.
"Kadang mereka kerap SMS atau telepon kami. Tapi mereka tak punya catatan sendiri," kata Abdon.
Berdasarkan data AMAN, setidaknya 1.2045 kepala keluarga dan 6.261 jiwa tanahnya dirampas dan diusir. Pelakunya adalah perusahaan swasta, pemerintah daerah, Kementerian Kehutanan, bupati, aparat desa, warga pendatang, dam PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Adapun beberapa masyarakat adat yang diusir itu antara lain Friyen/ Wawiyai (Raja Ampat), Ba'tan (Palopo), Dayak Punan (Kalimantan Timur), dan Komunitas Rio Sanglap (Riau).
Selanjutnya >> Sepanjang 2013, pengaduan kekerasan terhadap masyarakat adat yang diterima Komnas HAM mencapai 74 laporan.
<!--more-->
Sementara itu, sepanjang 2013, pengaduan kekerasan terhadap masyarakat adat yang diterima Komnas HAM mencapai 74 laporan. Yang mengadu ke Komnas HAM di antaranya suku Sakai Bathin Beringin (Riau), Sawai (Ternate), Swapor (Papua), Perlantingan (Sumatera Barat), dan Nilik Maju (Kalimantan Timur).
"Kabnet SBY nggak mau nurut. Apalagi pejabat eselon I dan II yang jadi pelaku perampasan," kata komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga.
Menurut AMAN, ketakpatuhan pemerintah yang menyebabkan banyaknya konflik terlihat dalam Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor: SE.1/Menhut-II/2013 dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.62/Menhut-II/2013. Dua peraturan itu mestinya turunan dari putusan MK.
Surat edaran itu misalnya mensyaratkan hutan adat baru akan dikeluarkan dari hutan negara jika masyarakat adat itu sudah diakui oleh pemerintah daerah melalui Peraturan Daerah. Sementara peraturan menteri meminta tanah adat harus punya surat riwayat yang diterbitkan oleh pemerintah dan surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional.
"Itu mengada-ada. UUD hanya mensyaratkan masyarakat adat diakui apabila masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, sesuai dengan prinsip NKRI, dan diatur dalam undang-undang," kata Abdon.
Mantan hakim konsitusi, Ahmad Sodiqi, yang ikut menguji materi Undang-Undang Kehutanan, mengatakan putusan MK memang kerap tak dipatuhi. Penyelewenangan itu kerap terjadi di aturan turunan yang menjadi operasional putusan MK.
"Kalau perlu, silakan diuji surat edaran dan peraturan menteri terkait kehutanan itu di Mahkamah Agung," kata Sodiqi.
KHAIRUL ANAM
Baca juga:
Cuit Anas Urbaningrum: Demokrat Ganti Ketua Umum
Survei: Jokowi Bertahan, Prabowo-Aburizal Jeblok
Suap di Bea Cukai, Kubu STAN vs Non-STAN Meruncing
Jazuli Laporkan Mahfud Md. ke Mabes Polri
Di mana Saja Duit Sogokan Akil Mochtar Diberikan?
Garap 400 Kasus, Akil Punya Jejaring Pemasaran
PKS Soal Jokowi: Populer Enggak Dicalonin, Ngapain ?
Ahok: Bawah Tanah Jakarta Dobel Semrawut
Bagaimana Kondisi Tanah Tol Cipularang KM 72?
Ratu Atut Dicopot dari DPP Partai Golkar