Warga melihat seekor gajah Sumatera jantan yang ditemukan tewas tak bergading di perkebunan warga Desa Ranto Sabon, Aceh Jaya, (14/7). Gajah Sumatera menjadsi gajah yang dilindungi tetapi masih banyak pemburu yang membunuh gajah ini. FOTO ANTARA/SYAHROL RIZAL
Menurut WWF, merelokasi gajah liar dari habitat aslinya bukan keputusan tepat untuk menghindari konflik. Sebab, tidak mudah bagi gajah liar untuk beradaptasi dengan lingkungan baru, namun pada akhirnya juga bakal terjadi konflik sesama gajah.
"Dipindahkan ke mana pun, tetap saja gajah itu akan terjadi konflik," kata Syamsidar, pihak humas WWF Riau, saat dihubungi Tempo, Kamis, 2 Januari 2014.
Diceritakan Syamsidar, gajah tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan baru setelah dievakuasi. Dia mencontohkan, pada 2006 lalu juga pernah dilakukan evakuasi gajah di hutan Balai Raja, Duri, kemudian dipindahkan ke Taman Nasional Tesso Nilo. Namun keberadaan gajah Balai Raja di Tesso Nilo tidak bisa diterima begitu saja oleh gajah Tesso Nilo yang akhirnya menimbulkan konflik sesama gajah.
Menurut Syamsidar, untuk menghindari konflik dengan manusia, semestinya bukan gajah yang harus dievakuasi, tapi justru manusia harus bisa menyesuaikan diri dengan habitat kelompok gajah.
Sebenarnya, kata Syamsidar, hutan alam di Riau adalah habitat gajah, namun tingginya konversi hutan dan perambahan menjadi kebun kelapa sawit mengakibatkan habitat gajah semakin menyempit. Walhasil, gajah akan tetap menempati habitat semula meski sudah berubah menjadi kebun sawit, yang kemudian berujung konflik. Gajah kemudian disebut sebagai hama bagi perkebunan kelapa sawit.