TEMPO Interaktif,
Jakarta:Berlima, para wanita dayak itu menginjak Jakarta. Bukan untuk piknik, tapi buat berbagi kepedihan. Mereka adalah para penduduk lokal yang mengaku jadi korban perkosaan pegawai PT Kelian Equatorial Mining (KEM), Kutai Barat, Kalimantan Timur. Lima wanita ini berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (2/12), bertutur peristiwa yang dialami di sekitar Tahun 1987.Menurut Kordinator Aksi, Edward MS, pemerkosaan tak hanya dialami lima, tapi sekitar 20-an perempuan. Peristiwa ini menurut Edward, terjadi ketika mereka sedang melamar pekerjaan di KEM. Edward menambahkan, bahwa para pemerkosa itu bukanlah orang lokal, melainkan pekerja asing.Natasya Rireq, seorang korban yang ikut berorasi dalam unjuk rasa, membawa serta bukti hidup hasil perkosaan: seorang bocah lelaki ganteng berumur 7 tahun berwajah Indo. Si bule, begitu anak tanpa dosa itu biasa dipanggil. Seiring lahirnya bocah itu, Natasya ditinggal pergi suaminya yang tidak mau mengakui bocah tersebut. Nun di Tahun 1987, KEM, sebuah perusahaan pertambangan emas, membuka kawasan konsesi di Kelian. Seperti kisah kawasan pertambangan lain di Indonesia, terjadi pengambilalihan lahan garapan yang biasa dikerjakan komunitas dayak disana. Sebagai kompensasi, rata-rata tiap kepala keluarga diberi dan Rp 2 Juta. Karena kehilangan lahan garapan dan tempat menambang emas secara tradisional, para wanita ini menurut Edward, masuk kawasan pabrik dan melamar kerja. Saat itulah, menurut Edward, peristiwa laknat itu terjadi.Maka kini, para wanita yang mengaku korban perkosaan ini menuntut KEM untuk memulihkan nama baiknya. "Sesuai janji KEM," ujar Natasya, para korban ingin agar pemulihan nama baik dilakukan melalui media cetak dan televisi selama satu bulan. Secara pribadi, Natasya juga menuntut KEM agar mau memberikan santunan pada putranya,Si Bule alias Haris. PT Rio Tinto, pemilik mayoritas saham KEM kepada TEMPO menyatakan, baik persoalan ganti rugi tanah ataupun perkosaan sudah selesai. Menurut Deputi Direktur Rio Tinto bidang Hubungan Eksternal Anang Rizkani Noor, sejak Tahun 2001 sampai sekarang, proses pemberian ganti rugi tersebut masih berlanjut. Ini kata Anang, akibat ada beberapa orang yang sudah pindah tempat tinggal dari lokasi semula.Menurut Anang, akhir tahun 1970 atau awal 1980 ketika PT KEM memulai pembangunan konstruksi, sudah dilakukan pembebasan tanah dan ganti rugi kepada warga yang berjumlah sekitar 400 orang. Tapi tuntutan muncul lagi di Tahun 1998. Menanggapi tuntutan warga, dibentuk Tim Investigasi yang melibatkan Komnas HAM, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pemerintah Daerah, LSM lokal dan Badan Pertanahan Nasional.Dari semula hanya ada 400 orang pemilik tanah di lokasi, Tahun 1999 ini kata Anang jumlah orang yang mengaku jadi pemilik tanah membengkak jadi sekitar lima ribu orang. Tapi “pihak kami tetap memberi ganti rugi atas yang 5 ribu ini,” kata Anang. Hingga menjelang lebaran kemarin, pihak KEM menurut Anang, sudah mengucurkan dana Rp 48 Miliar untuk proses ganti rugi tanah.Menyoal korban perkosaan, Anang mengaku pihak KEM telah memberi ganti rugi kepada tujuh korban pada Tanggal 15 Mei 2004. Besarnya antara Rp 18,5 – 20 Juta . Khusus kepada Natasya, menurut Anang kompensasi itu diberikan sebesar Rp 43,5 Juta yang diberikannya Tanggal 10 Agustus 2002. Anang kemudian memperlihatkan bukti tanda terima disertai foto dan surat pernyataan yang berisi bahwa korban tidak akan lagi mengajukan tuntutan dalam bentuk apapun.Natasya sendiri kepada TEMPO mengakui sudah menerima uang ganti rugi itu. “Tapi saya menerimanya karena ditekan, Saya merasa takut," ujarnya. Anang sendiri membantah pernyataan Natasya. “Tidak mungkin ada penekanan,” kata Anang. Sebabnya, dalam proses penyelesaian kasus ini, selalu melibatkan Komnas HAM, LBH APIK Pontianak, Komnas Perempuan, dan WALHI. Menurut Anang, Tim Investigasi Kasus Perkosaan mengeluarkan rekomendasi dan semua pihak duduk bareng membicarakan soal ini. Hasil pembicaraan ini, kata Anang disepakati pemberian ganti rugi kepada para korban. "Jadi tidak bisa disebut mereka mau menerima ganti rugi karena tekanan," ujar Anang. "Ini masalah individu, tapi perusahaan prihatin pada para korban, makanya kami mau memberi ganti rugi," lanjutnya.Rekomendasi yang dikeluarkan Tim Investigasi, selain pemberian ganti rugi, juga penjelasan lewat siaran pers dan upacara adat. Siaran pers ini menurut Anang sudah dilakukan 22 Juni 2002. Isinya, pernyataan keprihatinan atas kasus dugaan pelecehan seksual. Sedangkan upacara adat untuk rekonsiliasi, agar sengketa selesai dan tiada dendam, menurut Anang, sudah dilaksanakan di Kampung Eheng Tanggal 23 Juli 2002. Azas Tigor Nainggolan, wakil LSM yang ikut selama proses negosiasi mengaku, berdasarkan hasil investigasi, peristiwa pelecehan seksual yang terjadi tidak bisa disebut perkosaan. “Lebih sebagai ingkar janji,” katanya. Menurut Azas, para pelaku -- yang merupakan pegawai KEM, awalnya berjanji untuk menikahi para korban, tapi kemudian diingkari.Atas munculnya kembali kasus ini, Azas usul supaya dilakukan pengkajian kembali atas dokumen kesepakatan yang telah dibuat antara KEM dengan masyarakat. "Kita harus melihat kembali dokumen kesepakatan itu," ujarnya.
AGH/Indriani Dyah Setiowati