TEMPO Interaktif, Jakarta: Slamet Thohari menilai pernyataan KH Mas Subadar merupakan ungkapan dari kelompok orang tua yang tidak menghendaki perubahan di tubuh Nahdlatul Ulama. ?Mereka kelompok status quo di NU dan dalam tradisi NU tidak ada kata NU harus bersih dari ini dan itu,? kata Slamet yang jadi pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia cabang Sleman, Yogyakarta, Jumat (26/11) . Pernyataan Slamet itu mengomentari usulan KH Mas Subadar, bahwa NU harus bersih dari tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL). Kyai Mas Subadar yang kini memimpin pondok pesantren di Pasuruan, Jawa Timur, merujuk nama Koordinator JIL Ulil Absar Abdala yang pikiran-pikirannya dianggap keluar dari Quran dan Sunah. Menurut Slamet Thohari yang aktif di Komunitas Islam Utan Kayu, pernyataan Kyai Subadar hanya memanfaatkan moment politik menjelang Muktamar NU ke-31 di Boyolali, akhir November ini. ?Bagi saya Muktamar NU adalah medan pertempuran makna terhadap NU. Bagaimana cara pandang tentang agama, arah politik dan sebagainya,? ujarnya.Menanggapi pertentangan yang mencuat antara GusDur dan Hasyim Muzadi, Slamet menyikapi hal tersebut sebagai sesuatu yang biasa saja. "Gus Dur dan Hasyim adalah dua kubu yang berbeda dalam memaknai NU. Seorang GusDur barangkali akan lebih sepakat dengan makna NU dalam ranah civil society, sedang Hasyim lebih pada politik," ujarnyaMeskipun begitu belum tentu juga karena pada level tertentu NU tidak bisa lepas dari pergulatan politik. Menurutnya, civil society dan politik merupakan dialektika yang akan terus berlanjut, meskipun akhir-akhir ini NU dibawa ke politik. Slamet melihat, saat ini NU didominasi kelompok-kelompok yang bukan dari golongan 'Gus'. Jumlah mereka yang bukan dari golongan 'Gus' memang besar, tapi tidak sadar bagaimana menyalurkan kekuatan tersebut. ?Mereka berhasil menggusur dominasi 'Gus'. Tetapi sayangnya NU sekarang bukanlah sebuah kekuatan yang besar karena kyai-kyai hanya bisa kasih fatwa-fatwa,?. ujarnya. Tapi ketika ada penggusuran, ada penindasan para kyai itu bungkam tidak bisa memberi fatwa. ?Baru ketika ada rebutan politik saja mereka berfatwa, misal dalam pemilihan presiden kemarin," ungkap Slamet yang menjadi mahasiswa filsafat UGM.Agus Supriyanto?Tempo