Sejumlah warga Syiah bersama harta bendanya menunggu untuk di pindahkan dari tempat pengungsian di GOR Bulutangkis, Sampang, Madura, (20/6). Ribuan warga dan ulama menuntut warga Syiah dipindahkan dari Madura. TEMPO/Fully Syafi
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Imdadun Rahmat mengatakan konflik yang menimpa warga Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur, tak perlu terjadi jika ada kesadaran negara ini bukan milik sekelompok agama atau keyakinan. "Indonesia bukan negara Islam atau untuk kelompok yang berpaham Sunni saja," kata Imdadun saat dihubungi, Selasa, 6 Agustus 2013.
Menurut dia, pelanggaran hak asasi manusia terhadap pengikut Syiah di Sampang terjadi karena ada pemaksaan terhadap orang yang berbeda keyakinan. Padahal, konstitusi menolak pemaksaan keyakinan.
Imdadun menilai konflik Sampang hanya bisa diselesaikan dengan mengembangkan sikap saling menghargai perbedaan. "Aktor utama persoalan ini adalah masyarakat." Rahmat meminta pemerintah bersikap tegas terhadap pelanggaran hak asasi tersebut. Menurut dia, kelalaian pemerintah melindungi keberadaan kaum Syiah mengakibatkan konflik itu terus berlarut. "Pemerintah tak serius menangani masalah ini."
Dalam pertemuan dengan Menteri Agama Suryadharma Ali, sejumlah ulama di Madura ngotot menolak pengungsi Syiah dipulangkan ke kampung halamannya di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan Desa Blu'uran, Kecamatan Karang Penang, Sampang. Para kiai itu hanya akan menerima penganut Syiah jika mereka meninggalkan keyakinannya. Majelis Ulama Indonesia meminta para penganut Syiah dipulangkan dari tempat relokasi mereka saat ini di Sidoarjo.