"Sempat dirawat di sana beberapa jam, tapi kondisinya terus memburuk dan kritis," kata Andi.
Kondisi yang terus menurun, bayi Revan pun dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat dr. Wahidin Sudirohusodo dengan mobil ambulans dari RSUD Daya. Di sana bayi Revan ditolak. Alasannya, kamar perawatan penuh.
"Saya berikan kartu Jamkesda, kartu keluarga, dan KTP agar Revan dirawat sebagai pasien keluarga miskin," kata Nirmawanti. "Tapi satu jam kemudian petugas rumah sakit bilang ruangan sudah penuh. Revan diminta cari rumah sakit lain."
Penolakan terhadap Revan sebagai pasien miskin terus terjadi di dua rumah sakit lainnya: RS Ibnu Sina dan RS Awal Bros. Bahkan di RS Ibnu Sina, Revan tak sempat masuk ke ruang periksa. Petugas rumah sakit hanya memeriksa bayi itu dalam ambulans, dan menolak dengan alasan ruangan penuh. "Di RS Awal Bros juga, anak saya cuma disenter lalu petugasnya bilang ruangan penuh."
Bayi Revan baru diterima di RS Akademis setelah Andi Amir tak lagi menunjukkan kartu Jamkesda. Di sana, Revan didaftarkan sebagai pasien umum. Revan akhirnya sempat dirawat di unit gawat darurat, sebelum meninggal sehari setelahnya. "Sampai sekarang saya belum bisa melunasi administrasi perawatan, dan KTP masih ditahan rumah sakit," ujar Andi.
Revan merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Andi bekerja sebagai penarik becak motor. Kadang ia juga menjadi supir cadangan untuk angkutan umum. "Saya belum tahu jumlah keseluruhan biaya rumah sakit, tapiuntuk obat saja sekitar Rp 3 juta." Dan sejauh ini, belum ada komentar dari empat rumah sakit yang menolak Revan.