Ungko dan Siamang di Taman Nasional Kerinci Terancam Kritis

Reporter

Editor

Rabu, 6 Oktober 2004 19:30 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Padang - Walau populasi ungko dan si amang di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) belum dianggap kritis, tapi populasi kedua jenis primata itu sudah rentan menuju kategori kritis. Karena habitat mereka yang sangat tergantung dengan keberadaan pohon semakin berkurang, lantaran lahan hutan di perbatasan hutan konservasi itu terus dibuka untuk ladang, perkebunan, dan maraknya illegal logging. Demikian hasil penelitian Achmad Yanuar selama dua tahun di TNKS, tentang pengaruh kerusakan dan fragmentasi (pemecahan) habitat terhadap sosio-ekologi si amang dan ungko di Sumatera."Dalam areal TNKS yang luasnya 1,3 juta hektar, diperkirakan saat ini jumlah individu si amang (Syimphalangus syndactylus) sekitar 90 ribu dan ungko (Hylobates agilis) sekitar 150 ribu ekor. Siamang hidup di areal dengan ketinggian 800-1.200 meter di atas permukaan laut (m dpl) dan di pegunungan, sementara ungko di hutan yang lebih rendah, yaitu di perbukitan dataran tinggi 500-800 m dpl," kata Yanuar, di Padang, Rabu (7/10).Menurut Yanuar yang melakukan penelitian dalam rangka program PhD di Cambridge University, Inggris itu, di bagian barat sayap TNKS pada hutan dataran rendah, kerapatan populasi si amang lebih tinggi dibanding ungko. Sebaliknya, di sayap bagian timur taman nasional itu, ungko lebih banyak dan si amang kurang. "Saat ini, perladangan marak terjadi di perbatasan areal TNKS yang dekat dengan pemukimanan, sehingga berdampak terhadap habitat ungko dan siamang yang sulit untuk lari ke tempat lain. Karena tempat lain juga sudah diisi kelompok ungko lainnya," kata Yanuar.Dengan dibabatnya beberapa kawasan habitat, kedua jenis primata itu juga tidak bisa migrasi karena tidak ada ruang untuk mereka. Mereka tidak mempunyai ruang tetap (teritori), sehingga kehilangan habitat, dan ini merupakan faktor utama penyebab kepunahan. "Di lebih 40 lokasi di kawasanTNKS, diantaranya di Bangko (Jambi) dan Solok Selatan (Sumatera Barat), hampir semua kabupaten yang berdekatan dengan TNKS, mengalami gangguan cukup serius, seperti illegal logging, perladangan, perkebunan terutama kelapa sawit," kata Yanuar yang melakukan penelitian dengan didanai Gibbon Foundation itu.Untuk menyelamatkan populasi kedua primata ini, kata Yanuar, seharusnya habitat mereka dipertahankan, walaupun dalam ruang kecil sesuai dengan ukuran teritorinya. Karena umumnya, hutan dataran rendah sampai ketinggian 800 m dpl paling terancam kerusakannya oleh manusia. "Sebaiknya hutan-hutan itu diprioritaskan untuk proteksi, terutama yang berada di dalam kawasan TNKS. Apalagi sejak Juli lalu, TNKS sudah ditetapkan sebagai Cluster Word Heritage Site atau kelompok Warisan Alam Dunia," kata Yanuar lagi.Febrianti - Tempo

Berita terkait

DPR Dorong Sanksi Akumulatif Bagi Kejahatan Lingkungan di RUU Konservasi

13 hari lalu

DPR Dorong Sanksi Akumulatif Bagi Kejahatan Lingkungan di RUU Konservasi

UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang telah berusia 34 tahun menjadi alasan dilakukan revisi.

Baca Selengkapnya

KLHK Sita 55 Kontainer Berisi Kayu Ilegal di Pelabuhan Teluk Lamong

47 hari lalu

KLHK Sita 55 Kontainer Berisi Kayu Ilegal di Pelabuhan Teluk Lamong

Sebanyak 767 meter kubik kayu ilegal dilindungi merupakan jenis ulin, meranti, bengkirai, dan rimba campuran. Datang dari Kalimantan Timur.

Baca Selengkapnya

Badan Kehutanan Amerika Pantau Penanganan Kebakaran Hutan di Kalimantan Tengah

25 Januari 2024

Badan Kehutanan Amerika Pantau Penanganan Kebakaran Hutan di Kalimantan Tengah

Kepala Badan Kehutanan AS Randy Moore menghargai langkah Indonesia dalam mengatasi krisis iklim.

Baca Selengkapnya

CSIS Sebut Program Biodiesel B35 dan B40 Gibran Berpotensi Rusak Lingkungan

22 Januari 2024

CSIS Sebut Program Biodiesel B35 dan B40 Gibran Berpotensi Rusak Lingkungan

Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyoroti pernyataan calon wakil presiden nomor urut 3 Gibran Rakabuming ihwal Biodiesel B35 dan B40 dalam Debat Cawapres semalam. Gibran mengklaim program tersebut terbukti menurunkan impor minyak dan mendorong nilai tambah dan lebih ramah lingkungan.

Baca Selengkapnya

Pengusaha Sebut Indonesia telah Buka Skema Perdagangan Karbon Serap Emisi Gas Rumah Kaca

10 November 2023

Pengusaha Sebut Indonesia telah Buka Skema Perdagangan Karbon Serap Emisi Gas Rumah Kaca

Indonesia telah membuka skema perdagangan karbon untuk meningkatkan serapan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan.

Baca Selengkapnya

Lumba-lumba Air Tawar Sangat Langka Mati di Tempat Baru di Sungai Amazon

30 Oktober 2023

Lumba-lumba Air Tawar Sangat Langka Mati di Tempat Baru di Sungai Amazon

Lumba-lumba air tawar yang sangat langka mati di tempat baru di sepanjang Sungai Amazon.

Baca Selengkapnya

Menteri Kehutanan: Belum Ada Asap Dampak Kebakaran Hutan ke Malaysia

3 Oktober 2023

Menteri Kehutanan: Belum Ada Asap Dampak Kebakaran Hutan ke Malaysia

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan ada potensi asap menyebrang ke Malaysia dampak dari kebakaran hutan dan lahan.

Baca Selengkapnya

Hasto PDIP Sebut Food Estate Kejahatan Lingkungan Sulut Beragam Respons

17 Agustus 2023

Hasto PDIP Sebut Food Estate Kejahatan Lingkungan Sulut Beragam Respons

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sebut proyek food estate masuk kategori kejahatan lingkungan. Ini kata Gerindra dan pengamat pertanian.

Baca Selengkapnya

Terkini: Bapanas: Produsen Jual Daging Ayam Sewajarnya, PPATK Sebut Pencucian Uang Kejahatan Lingkungan Rp 20 T

28 Juni 2023

Terkini: Bapanas: Produsen Jual Daging Ayam Sewajarnya, PPATK Sebut Pencucian Uang Kejahatan Lingkungan Rp 20 T

Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengatakan Bapanas telah menyiapkan langkah antisipasi pengendalian harga daging ayam menjelang Idul Adha.

Baca Selengkapnya

PPATK Catat Tindak Pidana Pencucian Uang Terkait Kejahatan Lingkungan Rp 20 T Lebih

28 Juni 2023

PPATK Catat Tindak Pidana Pencucian Uang Terkait Kejahatan Lingkungan Rp 20 T Lebih

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan nilai tindak pidana pencucian uang atau TPPU terkait kejahatan lingkungan di Indonesia mencapai lebih dari Rp 20 triliun.

Baca Selengkapnya