RUU Komisi Rekonsiliasi Disetujui DPR dengan Catatan
Reporter
Editor
Selasa, 7 September 2004 18:57 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta: Seluruh fraksi yang hadir dalam Rapat Paripurna DPR menyetujui RUU Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) dijadikan undang-undang dengan sejumlah catatan. Setelah disetujui, anggota Dewan mengharapkan pemerintah selekasnya mempersiapkan pembentukan KKR guna menyelesaikan kasus-kasus kejahatan HAM yang terjadi sebelum UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM berlaku. Dari seluruh fraksi yang setuju, hanya Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (FKKI) yang menerima dengan catatan keberatan-keberatan yang ada dalam pasal-pasal RUU itu. Setidaknya, ada enam poin keberatan yang disampaikan FKKI melalui juru bicaranya Hamid Mappa. "Jika komisi sudah terbentuk, harus disempurnakan lagi melalui amandemen undang-undang," kata Hamid ketika memberikan pandangan akhir fraksinya. Beberapa keberatan yang diajukan FKKI adalah terkait batas waktu (pasal 27), jumlah anggota komisi (pasal 32), sumber pembiayaan, dan mekanisme proses pengungkapkan kebenaran. Menurut Hamid, pasal 27 mengandung kelemahan kompensasi dan rehabilitasi baru diberikan kepada korban setelah pelaku diberikan amnesti. Terkait batas waktu, FKKI menghendaki ada pembatasan waktu kasus kejahatan yang diungkap kebenarannya. Hamid juga menyoal jumlah anggota komisi yang ditetapkan hanya 21 orang tak sebanding dengan jumlah provinsi di Indonesia. Pasal 32 yang mengatur 4 anggota komisi dalam pengambilan keputusan sulit dilakukan karena genap. Sumber pendanaan sebaiknya bukan hanya dari APBN, tapi ada dari sumber-sumber lain. Mengenai semua proses pengungkapan kebenaran, sebaiknya terbuka. Fraksi TNI/Polri yang juga menerima RUU itu dijadikan undang-undang juga memberikan catatannya. Juru bicara dari Fraksi TNI/Polri Sutidarno Nurhadi mengatakan kerja komisi yang mengungkap kebenaran harus bisa menjamin tidak menimbulkan persoalan baru. "Komisi KKR tidak menjadi media pembenaran kegiatan makar dari NKRI dan tidak menjadi pembenaran peristiwa pengkhianatan bangsa," kata dia. Fraksi ini juga mengajak agar pelaksanaan KKR selalu mendulukan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi dan golongan.Menurut Ketua Pansus KKR Sidarto Danusubroto, pembahasan pansus memakan waktu 13 bulan. Pansus ini merupakan amanah dari Tap MPR No. 5 Tahun 2000 tentang Persatuan Nasional dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Menurut Sidarto, UU Pengadilan HAM ini tak bisa mengungkapkan kasus-kasus kejahatan HAM sebelum undang-undang itu lahir. Juru bicara dari Fraksi PDI Perjuangan Suwarno mengatakan Komisi Kebenaran diharapkan dapat mengatasi pelanggaran HAM berat dan mengungkapkan kebenaran. Komisi juga diharapkan bisa mengungkap pelaku dan korban kejahatan HAM masa lalu. Setelah kebenaran dibuka, pelaku berpeluang mendapatkan amnesti dan bagi korban berpeluang mendapatkan kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi. Pelaku yang menolak meminta maaf pada korban ataupun yang meminta maaf korban tapi ditolak korban, maka pelaku disarankan dibawa ke pengadilan ad hoc. Korban sendiri, karena pelaku tak mendapatkan amnesti karena tak mau minta maaf atau permintaan maafnya ditolak, tak akan mendapatkan rehabilitasi dan kompensasi. Poin inilah yang membuahkan kekecewaan korban pelanggaran HAM masa lalu. Mereka kecewa DPR menyetujui RUU KKR itu menjadi undang-undang. RUU yang disahkan itu kurang memiliki semangat membela korban. "Seolah-olah korban di posisi lebih rendah dari pelaku," kata Supardi Atmo, korban 1965 yang dipenjara tanpa proses pengadilan sejak 1965 hingga 1979, yang juga ikut menyaksikan sidang. Istiqomatul Hayati - Tempo News Room