Sejumlah narapidana mengikuti ujian nasional kesetaraan tingkat SMA di lembaga Pemasyarakatan Pemuda, kota Tangerang, Banten, (15/4). Sebanyak 18 pemuda mengikuti ujian kesetaraan dengan dikawal petugas lapas serta tim pengawas dari dinas pendidikan. TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Ikatan Guru Indonesia Itje Chodijah menganggap pelaksanaan ujian nasional sebagai tes yang dipaksakan. Menurut dia, ujian hanya dijadikan sebagai kamuflase tanpa memandang kemampuan seluruh siswa di Indonesia.
"Ini bagaikan bajaj yang diadu balapan dengan mercy," ujar Itje di Jakarta, Selasa, 16 April 2013. Analogi itu disampaikannya karena ujian nasional dinilai menimbulkan ketimpangan sosial. Sebab, siswa dari daerah terpencil dipaksakan mengerjakan soal yang bobotnya sama dengan siswa dari kota besar atau dari sekolah unggulan.
Menurut Itje, regulasi bukanlah alasan ujian nasional tetap dilaksanakan. "Kalau memang berdalih regulasi, berarti anak-anak dijadikan tameng."
Dia juga menyatakan, ujian nasional adalah suatu kebohongan publik karena kemampuan seseorang tidak diukur dengan cara yang tepat. "Melakukan standar nasional bukanlah mengukur kemampuan yang sebenarnya," kata Itje.
Pelaksanaan ujian nasional untuk sekolah menengah atas pada tahun ini diwarnai berbagai kekacauan. Bocornya soal ujian dan tidak mencukupinya jumlah naskah terjadi di sejumlah daerah. Bahkan, 11 provinsi harus menunda ujian akibat belum tersedianya naskah soal.