Koordinator Advokasi Fitra, Muhammad Maulana, mengatakan, dana tersebut berpotensi besar disalahgunakan. "Kami menduga bisa jadi ada yang mengalir ke petinggi-petinggi Polri karena tidak dikelola melalui mekanisme APBN," kata Maulana saat konferensi pers di kantornya, Ahad, 31 Maret 2013.
Maulana mengatakan, seusai hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan, dana tersebut terdiri atas bagi hasil retribusi parkir berlangganan sebesar Rp 4 miliar, pelatihan Rp 17,7 miliar, pelayanan rumah sakit non-badan layanan umum Rp 10,8 miliar, dan pengamanan obyek vital Rp 64,67 miliar. Dia menduga sumber dana retribusi parkir berlangganan tersebut diperoleh dari bagi hasil berdasarkan kontrak antara Kepolisian dan perusahaan jasa parkir.
"Secara pasti, kami juga belum tahu sumbernya seperti apa dan penggunaannya seperti apa. BPK juga tidak menjelaskan soal itu dalam temuannya," kata Maulana.
Menurut dia, empat item penerimaan non-APBN tersebut tidak masuk sebagai jenis PNPB Polri sebagaimana tertuang di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Janis PNPB yang berlaku pada Polri. Penerimaan itu juga tidak pernah dilaporkan kepada Kementerian Keuangan. Namun, penerimaan itu sangat signifikan.
"Karena belum diatur dalam PNPB, maka Polri menggunakan berdasarkan rumusan internal di Kepolisian," kata Maulana.
Fitra, kata Maulana, merekomendasikan agar Kementerian Keuangan merevisi PP 50 Tahun 2010 tersebut, dan meminta Kepala Polri menertibkan penerimaan dan penggunaan dana non-APBN tersebut.