Sejumlah kerabat menunggu empat jenazah korban penembakan sebelum dibawa ke Kupang, NTT, di RS. Dr. Sardjito, Yogyakarta, Senin (25/3) dini hari. Keempat jenazah tersebut yakni Yohanes Juan Manbait, Gameliel Yemiyanto Rohiriwu, Adrianus Candra Gajala dan Hendrik Benyamin Sahetapy korban penembakan di Lapas 2B Cebongan, Sleman pada Sabtu (23/3) dini hari lalu. ANTARA/Noveradika
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat militer Universitas Indonesia Andi Widjajanto menilai ada permasalahan mendasar dalam sejumlah peristiwa penyerbuan yang dilakukan oleh militer. Peristiwa penyerbuan Mapolres Ogan Komering Ulu dan kemudian penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman, yang diduga dilakukan oleh anggota Komando Pasukan Khusus, dianggap sebagai perwujudan masalah itu.
"Jika diasumsikan (penyerangan LP Cebongan) oleh militer, berarti ada rasa frustrasi yang tidak bisa disalurkan anggota TNI," ujar Andi kepada Tempo, Senin, 25 Maret 2013. Selain itu, dia menilai ada kendali komando yang patah dalam jajaran TNI. “Ada loyalitas yang salah tempat.”
Menurut Andi, penggunaan senjata oleh anggota TNI dilakukan dengan ketat. Selain harus terus-menerus diperiksa, anggota TNI yang memegang senjata api wajib menjalani psikotes berkali-kali.
Belasan orang menyerbu Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, pada Sabtu, 23 Maret 2013. Mereka menembak hingga tewas para tersangka penganiayaan anggota Kopassus, Sersan Satu Santoso, di Hugo's Cafe, Jalan Adisutjipto Km 8,5 Maguwoharjo, Sleman, pada Selasa, 19 Maret 2013. (Baca: Firasat Buruk Pemindahan Tahanan LP Sleman)
Keempat tersangka pembunuh tentara itu adalah Hendrik Angel Sahetapi alias Deki, 31 tahun, Yohanes Juan Manbait (38), Gameliel Yermianto Rohi Riwu alias Adi (29), dan Adrianus Candra Galaja alias Dedi (33). Para tersangka itu tewas tertembak dengan puluhan peluru pada tubuh mereka. Pelaku diduga berasal dari Kopassus. Pihak TNI telah menyatakan membantah anggotanya terlibat. Simak penyerangan di penjara Sleman di sini.