Seorang anggota polisi membantu para pekerja Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk berhenti bekerja saat aksi pengusiran oleh korban semburan lumpur di tanggul penahan lumpur Lapindo Porong, Sidoarjo, Jatim, awal Maret 2013. ANTARA/Dwi Agus Setiawan
TEMPO.CO, Sidoarjo - Bupati Sidoarjo, Saiful Ilah, menuding gerakan warga korban Lapindo dengan cara memblokade pekerja Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo ditunggangi provokator. Menurut dia, tidak mungkin warga berani menolak kehadiran bupati tanpa ada dorongan dari provokator.
Syaiful Ilah bisa meyakinkan warga bahwa dirinya tetap memperjuangkan keinginan korban Lapindo dalam peta area terdampak. Namun, bupati tetap gagal membujuk warga untuk meninggalkan tanggul dan memberi kesempatan pekerja BPLS mengalirkan lumpur ke Kali Porong. "Kalau lumpur meluber, mereka juga yang merasakan," kata Saiful, kepada Tempo, Kamis, 14 Maret 2013.
Ia menegaskan, dirinya telah bekerja maksimal memperjuangkan warga korban Lapindo dalam PAT. Masalahnya, kata Saiful, pembayaran ganti rugi korban Lapindo dalam PAT ditanggung Lapindo Brantas sesuai Perpres 14 Tahun 2007. Jika ditanggung pemerintah lewat APBN, ia lebih gampang menagih janji pada pemerintah pusat.
Humas BPLS, Dwinanto, berharap warga mengakhiri aksi blokade. Ia khawatir kekuatan tanggul penahan tak kuasa menampung luapan lumpur dan curahan hujan jika tak segera dikuras. BPLS tak bisa menjanjikan pembayaran sisa ganti rugi. Demikian pula Bupati Sidoarjo, kata Dwinanto, tak bisa memaksa pada warga untuk meninggalkan tanggul. "Kita harapkan Minarak Lapindo segera melunasinya. Kalau bisa besok, ya besok dilunasi. Enggak perlu tunggu hingga Mei," katanya.