Tim Labfor Polri membawa botol berisi cairan biru keluar dari lokasi penggeledahan rumah terduga teroris di Griyan, Solo, Jateng, (27/9). ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
TEMPO.CO, Jakarta - Agenda cuti telah disusun. Tiket pesawat dan penginapan pun sudah dipesan. Grace Natalie Louisa, masih berprofesi sebagai wartawan TVOne pada 2007. Saat itu, ia berniat liburan bersama teman-teman di Bali.
Sekitar awal Juni 2007, Grace sampai di Pulau Dewata. Tapi Grace terpaksa membatalkan liburan panjang itu. Baru sehari di bibir Pantai Kuta, ia harus meninggalkan kawan-kawannya dan terbang ke Yogyakarta.
Grace harus segera sampai di Banyumas, sebab Datasemen Khusus 88 Anti-Teror Kepolisian RI tengah meringkus Abu Dujana, kaki tangan Noordin M. Top dan Azahari Husin. Abu Dujana dianggap penting karena dia merakit Bom Bali 2002, Bom JW Marriott 2003, dan Bom Kuningan, Jakarta Selatan. "Tidak enaknya liputan teroris, semuanya serba mendadak," kata Grace, Jumat, 8 Maret 2013. "Susah untuk liburan dengan tenang."
Grace pun sering kucing-kucingan dengan anggota Densus 88 Anti-Teror. Sebab informasi operasi Densus 88 tidak tersedia secara gamblang, melainkan hanya sepotong-sepotong saja. Seperti hanya memberikan nama kota atau kecamatan saja, tanpa memberitahukan alamat lengkap lokasi penggerebekan. "Kalau sudah begitu, saya harus sewa ojek agar pergerakan cepat," kata dia.
Grace mengawali liputan terorisme pada 2007, di Poso, Sulawesi Tengah. Ketika itu, Poso tengah memanas setelah pengadilan mengeksekusi mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Ketiganya divonis bersalah dalam kerusuhan Poso. Grace meliput berdasarkan penugasan dari kantor. Ia belum memiliki sumber dari dalam Densus 88.
"Setelah berkali-kali mengikuti operasi Densus, mereka akhirnya kenal dan percaya dengan saya. barulah informasi itu datang," ujarnya.